Postingan

Jakarta ke-498!

Dahulu, di dalam benak saya, Jakarta adalah salah satu kemungkinan, berasosiasi pada opportunity-ambisi-mimpi-pondasi. Maka bagi saya, Jakarta adalah sebuah kebun mimpi yang perlu saya tanami dan saya rawat, untuk kemudian nanti jika beruntung bisa menuai  hasilnya. Susah sekali saya menggambarkan secara utuh bagaimana perasaan saya dengan kota ini, sangat kompleks. Tapi bagi saya, Jakarta dan seluruh sudutnya (jiakh seluruh sudut, anggap saja begitu) merupakan pembelajaran hidup yang insyaallah akan selalu saya simpan dan kenang. Kita (atau saya, ya?) seringkali mengutuk kehidupan. Baik saat macet, saat sedih, saat frustasi, saat patah hati (?), dan lain-lain. Tapi meskipun begitu, saya ingin menyampaikan bahwa kehidupan ini begitu spesial. Meski kita semua tahu, Jakarta memang keras dan seringkali memaksa kita untuk mengutuk kehidupan ini, tetap saja kehidupan ini begitu spesial. Diperlukan komposisi yang pas dan kondisi goldilocks. Di mana segala faktor yang ada serba presisi da...
For years, I wore a borrowed name, like a coat that fit just fine, practical, grown-up, tailored for the world beyond childhood. Sunflower, they said. A name that marched, that built, that stood. But somewhere deep in the quiet halls of me, a softer sound kept echoing, Dandelion. A name that danced barefoot in the garden, that giggled under mango trees, that cried only when the stars weren’t looking. I didn't know how much I missed her until the world began to whisper her back into my ears. Not just my roots, not just those who saw me before I knew how to spell my name, but even the new hearts, the ones I’ve only just met, call me Dandelion now. And oh, how the name blooms again. Like jasmine in the dusk, (uh jasmine?) like a song I didn’t know I remembered. Dandelion, she was never lost, only waiting. Waiting beneath layers of grown-up days. Now, when someone says her name, it's not just a sound, it’s a door creaking open, a warm light pouring in, a hand reaching back to hold ...
Hari ini saya kembali diingatkan akan satu hal yang tak pernah salah: bahwa Allah lah yang Maha Adil. Namun di saat yang sama, saya juga diingatkan satu hal lain, manusia mutlak bukan makhluk yang sempurna. Bahkan saat disodori fakta seluas langit dan bumi, manusia tetap bisa membelot. Menutup mata. Memilih untuk tidak mempercayai kebenaran. Bukan karena kebenaran itu kurang jelas, tapi karena hatinya yang sudah tertutup. Lalu bagaimana dengan mereka yang diperlakukan dengan tidak adil? Bagaimana bisa manusia, yang katanya makhluk berakal, menyakiti sesamanya tanpa rasa bersalah? Yang lebih menyakitkan adalah ketika yang melakukan itu adalah orang yang memiliki kekuasaan. Seorang pemimpin. Bukankah pertanggungjawaban seorang pemimpin itu lebih besar?  Bukankah seharusnya ia takut pada pengadilan yang sesungguhnya, yakni di akhirat kelak? Tapi tidak. Kadang mereka tak takut. Seolah dunia ini milik mereka selamanya. Seolah mereka bisa lolos dari semua. Di saat seperti ini, sa...

Bapak

Bapak adalah singularitas. Bapak seperti batas cakram akresi—diam, namun menjadi poros dari segalanya. Salah satu karunia Tuhan yang akan selalu aku syukuri adalah: Bapak. Entah bagaimana, namanya bisa terdengar begitu indah di telingaku. Aku hanya tahu bahwa Bapak menghabiskan obsesi hidupnya untuk mencintaiku. Bapak tidak pernah menjanjikan hidup akan selalu nyaman. Tapi Bapak berjanji akan ada—apapun keadaannya. Sore ini, aku hampir berputus asa. Tapi kemudian aku mengingat-ingat kembali betapa serunya hidup ini. Betapa banyak hal yang sudah kulewati. Betapa aku masih bisa bercerita kepada Bapak. Betapa aku punya Tuhan yang Maha Segala-Nya. Lalu, Sore ini pula, Bapak berpesan kepadaku: Jagalah sholat lima waktu. Berdoalah. Tahajjud. Dan hiduplah dengan percaya diri. Rabb-ku, Aku meminta supaya Bapak selalu sehat dan bahagia, Serta rahmat-Mu menyertainya. Teman-teman, Jika kalian menemukan sifat baik pada diriku, maka itu adalah Bapak— Bapak yang mengajarkannya. Bapak, Aku menyayangi...

15 Mei

Siapa sangka, 15 Mei datang—tak dengan pelukan hangat, melainkan setitik duka yang tumbuh menjadi genangan air mata. Ia berdiri. Meski hatinya bersimbah luka, meski malam menolak memberi asanya. Tak ada cahaya celah jendela, udara pun seakan lupa jalannya. Fajar entah ke mana, langit membisu tak biasa. Dari mana ia berharap terang jika segala yang ada adalah gelap? Tapi perempuan itu— ia tetap di tempatnya, mengakar di tanah luka dengan nyala doa yang ia bisikkan lirih: “Tuhan, kasihanilah hamba-Mu.” Oh, betapa malang rupanya langkah yang tertatih dalam diam. Namun bukankah ia punya Tuhan yang tak pernah jauh dari air matanya yang jatuh? Maka mari, kita doakan ia— agar tetap seteguh ia, agar Tuhan mengusap kepalanya dengan kasih yang tak hingga. Selamat datang, 15 Mei yang muram. Jadilah teman, bukan beban. Dan biarkan ia tetap hidup, meski hatinya penuh luka. Aku yakin, Ia akan selalu kuat. Karena Tuhan Maha Kuasa, maka, ia, tunggulah hadiahnya. Kamu b...
Aku tidak tahu bagaimana orang-orang bisa masih sangat tangguh saat sudah dihantam banyak badai kegagalan. Aku masih di sini, masih pada anak tangga yang aku usahakan menjadi tangga menuju mimpiku, aku berharap tapi tak terlalu berharap, tapi bukankah aku punya Allah yang Maha Perkasa, lagi Maha Presisi dalam setiap perhitungannya?  Segala puji bagi Allah Tuhan Seluruh Alam, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Tuk tuk tuk...Nebula?

Woah, it’s been ages since my last post here. Life has been a whirlwind, and last month brought an unexpected storm, a mental breakdown that shook me to my core (for real). It all started when I had to face the reality of my scholarship application. Reading the rejection felt like a dagger to the heart. In that moment, I realized how much this dream meant to me and how painful it was to see it slipping away. I sought help and did some serious self-reflection. I took a step back and evaluated what I had done so far and what I needed to prepare moving forward. It wasn’t easy, admitting my mistakes and gaps was a humbling process. For a while, I felt utterly lost, just going through the motions without direction. Yesterday, it all culminated in my body giving up on me. I fell sick, and as much as I dislike feeling weak, I believe this was Allah’s way of telling me to pause and rest. It was a forced slowdown, a chance to recharge and reflect. Despite the struggles, I’ve come to appreciate ...