Postingan

Dalam Hidup

Dari perjalanan umrah selama dua pekan, beberapa waktu yang lalu, aku benar-benar disadarkan bahwa hidup adalah dua hal: Menunggu waktu shalat. Menunggu ajal. Di antara keduanya, kitalah yang memilih bagaimana mengisi sela-sela itu—apakah dengan kebaikan, kelalaian, atau bahkan kesia-siaan.  Ya Allah, sungguh begitu banyak kesia-siaan dan dosa yang sudah aku lakukan. Di hadapan-Mu ya Allah, aku semakin sadar bahwa aku hanyalah hamba yang lemah. Tidak ada daya dan upaya tanpa pertolongan-Mu. Jika bukan karena rahmat-Mu, aku bukan siapa-siapa. Tanah Suci mengajarkanku betapa kecilnya aku di tengah jutaan manusia, dan betapa agungnya Engkau, ya Allah, yang memanggil kami datang hanya dengan izin-Mu. Hidup ini fana, dunia hanyalah persinggahan sebentar. Semua yang aku kejar dan genggam pada akhirnya akan aku tinggalkan, kecuali amal yang Engkau terima. Ya Allah, tetapkanlah iman, takwa, dan tauhid di dalam diriku, orang tuaku, keluargaku, dan seluruh kaum muslimin. Lindungilah ha...

Madinah (part 1)

Sejauh saya hidup di dunia, untuk pertama kalinya saya merasakan kesadaran penuh pada ibadah. Sungguh, betapa rapuhnya saya dan lemahnya saya. Alhamdulillah. Perjalanan umrah saya dimulai tanggal 9 September. Kota pertama yang saya datangi adalah Madinah, tempat saya tinggal sampai tanggal 14 sebelum berangkat ke Mekkah. Ada yang berbeda dari Madinah. Suasananya adem, tenang, dan setiap langkah terasa lebih ringan. Hati seperti ditenangkan tanpa perlu alasan. Di sinilah, di kota yang penuh sejarah dan doa, saya mengalami satu pertemuan sederhana yang entah kenapa begitu membekas. Suatu hari, saya sedang duduk sendirian di masjid. Ramai orang, tapi saya datang tanpa teman, hanya ingin menikmati waktu membaca Qur’an. Tiba-tiba seorang perempuan menghampiri dan dengan suara lembut bertanya, “Is there anyone next to you?” Saya tersenyum dan menjawab, “No, please sit here.” Kami pun duduk berdampingan. Awalnya sibuk dengan sholat sunnah masing-masing, hingga ia menoleh sambil tersenyum ...

Sabar

Hari Sabtu sore, saya berkesempatan mengikuti kajian bersama Ustadz Nuzul Dzikri. Temanya sederhana, tentang sabar , tetapi justru dari kesederhanaannya itu, ada banyak sekali renungan yang mengetuk hati saya, juga kembali membawa ingatan saya bahwa manusia sangatlah lemah, baik raga maupun jiwanya. Sungguh tanpa Allah, manusia tidak bisa apa-apa. Sering kali dalam hidup kita lebih sibuk menghitung target: kapan selesai, kapan tercapai, kapan berhasil. Kita merasa hidup ini seperti sebuah lomba dengan garis akhir yang harus segera diraih. Padahal, kalau dipikirkan lebih dalam, justru yang lebih penting bukanlah “ kapan sampai ,” melainkan “ bagaimana kita berjalan .” Jika kita mampu konsisten, kita akan bertumbuh. Tidak perlu terburu-buru, cukup pastikan langkah kita berada di jalan yang benar: istiqomah di jalan Allah. Hakikatnya, kita tidak dituntut untuk menyelesaikan segalanya. Kita dituntut untuk tetap berada di jalan-Nya hingga akhir hayat. Target sejati bukanlah garis finish ,...

Na

Kata orang, salah satu momen paling sendu sekaligus mengharukan dalam hidup adalah ketika sahabat baik kita menikah. Dulu, saya pikir itu hanya bumbu melodrama, karena bukankah memang begitu jalan hidup? Ada yang datang, ada yang pergi. Bukankah semua orang, pada waktunya, akan menemukan jalannya sendiri? Fiuh. Tapi hari ini, saya mengerti. Bukan untuk pertama kali, namun kali ini berbeda. Rasanya campur aduk: hangat yang membuat tersenyum, haru yang membuat mata basah, dan sesak yang diam-diam menetap di dada. Na, namanya. Enam tahun lalu kami bertemu, sama-sama membawa koper harapan ke Jakarta untuk MT family interview (karena memang perusahaannya adalah family company). Kami datang di hari yang sama, duduk di ruangan yang sama, dan melakukan interview bersama. Kemudian setelah selesai, sebelum berpisah, kami membuat perjanjian: jangan saling menghubungi setelah wawancara. Alasannya konyol tapi manis, agar tak ada yang merasa patah hati jika hanya salah satu yang diterima. Namun be...

Taraxacum

Sebab menjadi dandelion tak hanya tentang terbang, tapi tentang tahu kapan saatnya menunggu angin yang tepat.  — Setangkai dandelion hari ini pergi lebih pagi. Agaknya ini menjadi ritual tahunan setiap tanggal 22 Juli, sejak enam tahun lalu. Setangkai dandelion adalah perempuan yang masih mempercayakan hidupnya pada Dzat yang Maha Kekal. Hari ini, langkahnya terasa sedikit lebih ringan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Ia pun bertanya-tanya, “apa yang berbeda, ya?” Tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya, ia selalu berdoa supaya di tahun berikutnya ia bisa berada di tempat yang berbeda. Untuk terbang. Menebarkan pappus. Lalu menumbuhkan kehidupan-kehidupan baru. Tapi hari ini, dandelion tidak lagi memanjatkan doa yang sama. Ia hanya berharap, segala perilaku, prasangka, dan perbuatannya tidak menjadi hal yang menakutkan bagi kehidupan. Ia ingin tetap bisa menikmati prosesnya. Proses menjadi dandelion yang pada waktunya, akan menebarkan pappusnya di Bumi. Ia sedang belajar mempr...

Kation

Sudah bisa dipastikan, pada masing-masing tahapan hidup, kita dianugerahi satu dua atau beberapa manusia baik yang cenderung pasrah (?) mau dekat dengan kita. Nah, saya juga punya beberapa, tapi kali ini saya akan bercerita soal dua manusia baik dulu, Kak Ria dan Kak Sarah (maaf banget sok muda tapi di dalam sirkel ini memang saya paling muda. OK. Ya walaupun di kehidupan sehari-hari "Kak" hanya saya gunakan untuk Kak Sarah HAHAHA). Saya juga bisa pastikan ketika membaca tulisan ini, mereka berdua akan mual, muntah, pusing, dan gejala anti alay lainnya. Baiklah, saya tahu ini sedikit alay, tapi tolong kalau kalian yang membaca ini setidaknya jangan pingsan dulu. Mungkin, sudah banyak teman-teman mereka lainnya yang menceritakan kisah inspiresyen dari mereka berdua, maka saya merasa perlu juga menceritakan kisah saya yang cenderung tidak inspiresyen-inspiresyen banget ini yang tapi insyaallah saya buat sejujur mungkin dan penuh kasih sayang (hueks). Well, setelah naik turun dr...

Jakarta ke-498!

Dahulu, di dalam benak saya, Jakarta adalah salah satu kemungkinan, berasosiasi pada opportunity-ambisi-mimpi-pondasi. Maka bagi saya, Jakarta adalah sebuah kebun mimpi yang perlu saya tanami dan saya rawat, untuk kemudian nanti jika beruntung bisa menuai  hasilnya. Susah sekali saya menggambarkan secara utuh bagaimana perasaan saya dengan kota ini, sangat kompleks. Tapi bagi saya, Jakarta dan seluruh sudutnya (jiakh seluruh sudut, anggap saja begitu) merupakan pembelajaran hidup yang insyaallah akan selalu saya simpan dan kenang. Kita (atau saya, ya?) seringkali mengutuk kehidupan. Baik saat macet, saat sedih, saat frustasi, saat patah hati (?), dan lain-lain. Tapi meskipun begitu, saya ingin menyampaikan bahwa kehidupan ini begitu spesial. Meski kita semua tahu, Jakarta memang keras dan seringkali memaksa kita untuk mengutuk kehidupan ini, tetap saja kehidupan ini begitu spesial. Diperlukan komposisi yang pas dan kondisi goldilocks. Di mana segala faktor yang ada serba presisi da...