Postingan

Aeterna

Menjelang akhir tahun, biasanya saya akan mengingat-ingat apa saja yang sudah terjadi: apa yang sudah saya lakukan, dan apa yang sudah berlalu. Alhamdulillah atas segala curahan rahmat dari Allah. Shalawat serta salam juga saya lantunkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.  Di sela-sela saya melakukan throwback ini, saya teringat pada satu sudut hati yang paling tersembunyi, tempat di mana mimpi saya masih menetap. Masih ada hal yang hingga kini belum terwujud: melanjutkan studi saya, melanjutkan mimpi saya. Tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya, saya selalu berkata, "Mungkin tahun depan ya. Bismillah. Bi idznillah." Tapi sampai hari ini, belum ada satu pun beasiswa yang nyantol hehe. Yang saya syukuri, Allah masih memberi saya semangat, tidak menyerah, alhamdulillah tahun ini sempat lolos di rangkaian seleksi beasiswa, walaupun akhirnya tidak lolos, tapi paling tidak tahun ini ada momen lolos hehe.  Huft, ternyata tanpa sadar, saya menitikkan air mata. Saya ...

Influenza A

Di malam menjelang Senin ini, entah kenapa saya merasa perlu untuk mengabadikan kejadian seminggu ke belakang. Rasanya terlalu “besar” untuk disimpan sendiri (atau ya memang oversharing aja, pararunten akang teteh). Jadi izinkan saya berbagi cerita yang genre-nya cenderung konyol ini, tapi ya begitulah hidup. Tahap 1 Jumat malam, 14 November 2025, sepulang kantor, badan saya mulai terasa aneh. Ngilu sakit (gimana ya, sakit), tenggorokan mulai pedih, dan demam perlahan mulai terasa. Tapi di kepala saya cuma ada satu hal: “Besok saya sudah janji pergi. Jadi tidur saja. Pasti besok baik-baik saja.” Naif sekali ya, kalau dipikir sekarang HAHAHA. Tahap 2 Sabtu, 15 November 2025. Saya masih sempat belanja sayur, buah, protein, seolah tubuh saya baik-baik saja. Bahkan masih olahraga satu jam. Rasanya seperti masih ingin membuktikan bahwa saya kuat. Bahwa tubuh saya patuh dengan segala hal yang sudah saya tetapkan. Padahal, tubuh saya sedang memberi warning, tapi saya yang tidak mau pek...

Dalam Hidup

Dari perjalanan umrah selama dua pekan, beberapa waktu yang lalu, aku benar-benar disadarkan bahwa hidup adalah dua hal: Menunggu waktu shalat. Menunggu ajal. Di antara keduanya, kitalah yang memilih bagaimana mengisi sela-sela itu—apakah dengan kebaikan, kelalaian, atau bahkan kesia-siaan.  Ya Allah, sungguh begitu banyak kesia-siaan dan dosa yang sudah aku lakukan. Di hadapan-Mu ya Allah, aku semakin sadar bahwa aku hanyalah hamba yang lemah. Tidak ada daya dan upaya tanpa pertolongan-Mu. Jika bukan karena rahmat-Mu, aku bukan siapa-siapa. Tanah Suci mengajarkanku betapa kecilnya aku di tengah jutaan manusia, dan betapa agungnya Engkau, ya Allah, yang memanggil kami datang hanya dengan izin-Mu. Hidup ini fana, dunia hanyalah persinggahan sebentar. Semua yang aku kejar dan genggam pada akhirnya akan aku tinggalkan, kecuali amal yang Engkau terima. Ya Allah, tetapkanlah iman, takwa, dan tauhid di dalam diriku, orang tuaku, keluargaku, dan seluruh kaum muslimin. Lindungilah ha...

Madinah (part 1)

Sejauh saya hidup di dunia, untuk pertama kalinya saya merasakan kesadaran penuh pada ibadah. Sungguh, betapa rapuhnya saya dan lemahnya saya. Alhamdulillah. Perjalanan umrah saya dimulai tanggal 9 September. Kota pertama yang saya datangi adalah Madinah, tempat saya tinggal sampai tanggal 14 sebelum berangkat ke Mekkah. Ada yang berbeda dari Madinah. Suasananya adem, tenang, dan setiap langkah terasa lebih ringan. Hati seperti ditenangkan tanpa perlu alasan. Di sinilah, di kota yang penuh sejarah dan doa, saya mengalami satu pertemuan sederhana yang entah kenapa begitu membekas. Suatu hari, saya sedang duduk sendirian di masjid. Ramai orang, tapi saya datang tanpa teman, hanya ingin menikmati waktu membaca Qur’an. Tiba-tiba seorang perempuan menghampiri dan dengan suara lembut bertanya, “Is there anyone next to you?” Saya tersenyum dan menjawab, “No, please sit here.” Kami pun duduk berdampingan. Awalnya sibuk dengan sholat sunnah masing-masing, hingga ia menoleh sambil tersenyum ...

Sabar

Hari Sabtu sore, saya berkesempatan mengikuti kajian bersama Ustadz Nuzul Dzikri. Temanya sederhana, tentang sabar , tetapi justru dari kesederhanaannya itu, ada banyak sekali renungan yang mengetuk hati saya, juga kembali membawa ingatan saya bahwa manusia sangatlah lemah, baik raga maupun jiwanya. Sungguh tanpa Allah, manusia tidak bisa apa-apa. Sering kali dalam hidup kita lebih sibuk menghitung target: kapan selesai, kapan tercapai, kapan berhasil. Kita merasa hidup ini seperti sebuah lomba dengan garis akhir yang harus segera diraih. Padahal, kalau dipikirkan lebih dalam, justru yang lebih penting bukanlah “ kapan sampai ,” melainkan “ bagaimana kita berjalan .” Jika kita mampu konsisten, kita akan bertumbuh. Tidak perlu terburu-buru, cukup pastikan langkah kita berada di jalan yang benar: istiqomah di jalan Allah. Hakikatnya, kita tidak dituntut untuk menyelesaikan segalanya. Kita dituntut untuk tetap berada di jalan-Nya hingga akhir hayat. Target sejati bukanlah garis finish ,...

Na

Kata orang, salah satu momen paling sendu sekaligus mengharukan dalam hidup adalah ketika sahabat baik kita menikah. Dulu, saya pikir itu hanya bumbu melodrama, karena bukankah memang begitu jalan hidup? Ada yang datang, ada yang pergi. Bukankah semua orang, pada waktunya, akan menemukan jalannya sendiri? Fiuh. Tapi hari ini, saya mengerti. Bukan untuk pertama kali, namun kali ini berbeda. Rasanya campur aduk: hangat yang membuat tersenyum, haru yang membuat mata basah, dan sesak yang diam-diam menetap di dada. Na, namanya. Enam tahun lalu kami bertemu, sama-sama membawa koper harapan ke Jakarta untuk MT family interview (karena memang perusahaannya adalah family company). Kami datang di hari yang sama, duduk di ruangan yang sama, dan melakukan interview bersama. Kemudian setelah selesai, sebelum berpisah, kami membuat perjanjian: jangan saling menghubungi setelah wawancara. Alasannya konyol tapi manis, agar tak ada yang merasa patah hati jika hanya salah satu yang diterima. Namun be...

Taraxacum

Sebab menjadi dandelion tak hanya tentang terbang, tapi tentang tahu kapan saatnya menunggu angin yang tepat.  — Setangkai dandelion hari ini pergi lebih pagi. Agaknya ini menjadi ritual tahunan setiap tanggal 22 Juli, sejak enam tahun lalu. Setangkai dandelion adalah perempuan yang masih mempercayakan hidupnya pada Dzat yang Maha Kekal. Hari ini, langkahnya terasa sedikit lebih ringan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Ia pun bertanya-tanya, “apa yang berbeda, ya?” Tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya, ia selalu berdoa supaya di tahun berikutnya ia bisa berada di tempat yang berbeda. Untuk terbang. Menebarkan pappus. Lalu menumbuhkan kehidupan-kehidupan baru. Tapi hari ini, dandelion tidak lagi memanjatkan doa yang sama. Ia hanya berharap, segala perilaku, prasangka, dan perbuatannya tidak menjadi hal yang menakutkan bagi kehidupan. Ia ingin tetap bisa menikmati prosesnya. Proses menjadi dandelion yang pada waktunya, akan menebarkan pappusnya di Bumi. Ia sedang belajar mempr...