Postingan

Finding Tia (again)

Woah, it’s been ages since my last post here. Life has been a whirlwind, and last month brought an unexpected storm, a mental breakdown that shook me to my core (for real). It all started when I had to face the reality of my scholarship application. Reading the rejection felt like a dagger to the heart. In that moment, I realized how much this dream meant to me and how painful it was to see it slipping away. I sought help and did some serious self-reflection. I took a step back and evaluated what I had done so far and what I needed to prepare moving forward. It wasn’t easy, admitting my mistakes and gaps was a humbling process. For a while, I felt utterly lost, just going through the motions without direction. Yesterday, it all culminated in my body giving up on me. I fell sick, and as much as I dislike feeling weak, I believe this was Allah’s way of telling me to pause and rest. It was a forced slowdown, a chance to recharge and reflect. Despite the struggles, I’ve come to appreciate ...

Adikku

Aku punya satu adik laki-laki yang amat baik, Beth namanya Tapi aku, sering mengecewakannya, Dan mungkin akan selalu mengecewakannya, entah sampai kapan Saat aku menulis ini, aku baru saja berselisih paham dengannya Aku tahu dia kesal, karena mungkin memang aku menyebalkan di matanya Tapi andia kamu tahu, wahai adikku Betapa aku menyayangimu, dengan sepenuh hati Mungkin kasih sayangku tidak sempurna, Tapi aku yakin, kamu akan menyangka sebesar ini rasa sayangku kepadamu Aku sedih ketika kamu sedih Aku marah ketika kamu bercerita ada yang mengganggumu Aku marah ketika ada yang jahat padamu Aku bahagia ketika kamu bahagia Aku tidak ingin kamu merasakan semua kepahitan yang pernah aku rasakan Aku mengharapkan dunia lebih ramah kepada mu Adikku, Maafkan aku yang jauh dari kata sempurna Kata orang, Tuhan menciptakan pohon di hari Senin Tahukah, meskipun pohon bukan sumber utama oksigen di Bumi, Tapi pohon berperan penting untuk kehidupan Pohon bisa menjadi penghambat banjir, bisa untuk bert...
hari ini, tidak ada lagi yang bisa aku harapkan kecuali Tuhan kepada-Nya aku meminta supaya hujan lekas reda lalu matahari terik bercahaya supaya pelangi menghiasi angkasa aku, pada titik terpasrah dalam hidupku ini hanya bisa berdoa supaya Tuhan menunjukkan kuasa

Pakde G

Hari ini, pagi ini, lagi-lagi jantung saya seperti tidak pada tempatnya. Salah satu orang yang paling dekat dengan saya, yang sangat menyayangi saya (dan begitu pun saya, saya sangat menyayangi beliau), telah berpulang. Beliau adalah Pakde G. Saya dan Pakde G tidak pernah ada ikatan darah, kami bukan saudara dari pihak mana pun. Pakde G adalah anak dari Mbok Ti dan Pak Manto (ada tulisan saya di blog ini yang menceritakan mereka). Meskipun tidak ada ikatan darah, Pakde G sangat berkontribusi dalam hidup saya. Saya bisa merasakan kasih sayang yang tulus dari beliau untuk saya dan adik saya. Pakde G adalah seorang pekerja keras yang pernah merasakan berbagai macam profesi demi bertahan hidup dan menafkahi keluarganya. Mungkin secara ekonomi, beliau bukan orang yang sejahtera, tapi beliau punya rasa cukup. Beliau punya kebahagiaan dengan dirinya sendiri, dengan hidupnya. Bagi orang lain, mungkin Pakde G bukan siapa-siapa. Tapi bagi saya, Pakde G adalah salah satu dari "segalanya....

Kak Sasti dalam Bioteknologi dan Metabolomik

 Seperti biasa, saya ingin berbagi setelah melihat video, kali ini dari Kak Sasti Associate Professor di Osaka University. Baiklah, kita mulai saja ya. Pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu-pintu kesempatan dan mengurangi keterbatasan. Bagi Kak Sasti, seorang ilmuwan bioteknologi dan metabolomik, pendidikan tinggi tidak hanya menjadi jalan untuk mendalami ilmu, tetapi juga menjadi cara untuk memperjuangkan hal-hal yang lebih besar—baik untuk dirinya sendiri maupun bagi Indonesia. Perjalanan Kak Sasti mencerminkan keteguhan, kerja keras, dan visi besar untuk membawa manfaat yang nyata bagi masyarakat. Saat banyak orang berusaha menjadi generalis, Kak Sasti memutuskan untuk mendalami satu bidang secara mendalam: metabolomik. Keputusannya melanjutkan studi hingga tingkat doktoral di Jepang adalah untuk menjadi seorang spesialis, bukan sekadar menambah titel, tetapi untuk mengasah keahlian dengan ketajaman luar biasa. Namun, perjalanan di dunia akademik bukan tanpa tantangan. Sel...

Riset dan Kolaborasi Global

Belakangan ini, saya terinspirasi oleh Kak Bagus Muljadi, seorang Associate Professor di University of Nottingham. Beliau adalah contoh nyata bagaimana riset dapat menjadi kontribusi nyata, tidak hanya untuk dunia akademik, tetapi juga untuk masyarakat dan bangsa. Gagasan beliau untuk menjadikan Indonesia kiblat riset global memberikan visi besar yang sangat relevan dengan tantangan dan peluang yang kita hadapi saat ini. Saya merasa sangat resonate dengan beliau karena pertama, minat kami sama, yaitu dalam dunia akademik, kemudian kami memiliki visi yang sama dalam bidang riset, dan yang beliau pelan-pelan lakukan tersebut juga yang ada di benak saya ketika seseorang menanyakan bagaimana saya akan berkontribusi untuk Indonesia (well, semoga Kak Bagus berkenan ya saya samakan dengan saya). Nah, yang membedakan adalah, perjalanan saya dan beliau berada di tahap yang berbeda. Jika Kak Bagus sudah di tahap implementasi, saya masih di tahap awal—belajar, menyerap, dan membangun pema...

Membumikan Riset

Pernahkah kalian berpikir kenapa sains dan riset tidak terlalu populer di Indonesia? Mungkin kita merasa riset itu hanya untuk kalangan akademisi, atau bahkan terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. Nah mungkin itu karena sebagian besar riset yang dilakukan di Indonesia tampaknya kurang relevan dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Sehingga membuat minat terhadap riset rendah. Lantas, apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Salah satu alasan utama adalah kesenjangan antara akademisi dan masyarakat. Bahasa yang digunakan dalam riset sering kali terlalu teknis dan sulit dipahami oleh orang non-akademis. Tanpa adanya translasi yang jelas, masyarakat tidak tahu mengapa penelitian itu penting atau apa manfaatnya bagi kehidupan mereka. Ini menciptakan gap antara riset yang dilakukan di laboratorium dan kebutuhan nyata di lapangan (yang dihadapi oleh masyarakat). Selain itu, budaya berpikir saintifik di Indonesia masih terbilang lemah. Masyarakat sering kali mencari jawaban yang pasti—100% ...