Jakarta ke-496!
Dahulu, di dalam benak saya, Jakarta adalah salah satu kemungkinan, berasosiasi pada opportunity-ambisi-mimpi-pondasi. Maka bagi saya, Jakarta adalah sebuah kebun mimpi yang perlu saya tanami dan saya rawat, untuk kemudian nanti jika beruntung bisa menuai hasilnya. Susah sekali saya menggambarkan secara utuh bagaimana perasaan saya dengan kota ini, sangat kompleks. Tapi bagi saya, Jakarta dan seluruh sudutnya (jiakh seluruh sudut, anggap saja begitu) merupakan pembelajaran hidup yang insyaallah akan selalu saya simpan dan kenang.
Kita (atau saya, ya?) seringkali mengutuk kehidupan. Baik saat macet, saat sedih, saat frustasi, saat patah hati (?), dan lain-lain. Tapi meskipun begitu, saya ingin menyampaikan bahwa kehidupan ini begitu spesial. Meski kita semua tahu, Jakarta memang keras dan seringkali memaksa kita untuk mengutuk kehidupan ini, tetap saja kehidupan ini begitu spesial. Diperlukan komposisi yang pas dan kondisi goldilocks. Di mana segala faktor yang ada serba presisi dan tepat sehingga kehidupan bisa muncul. Sesuatu yang mungkin hanya bisa dibuat oleh Tuhan, karena probabilitasnya mendekati nol (apalah kita, manusia yang serba terbatas ini).
Oke anyway, alam semesta butuh 13 milyar tahun untuk menghadirkan kita ke Bumi. Alam semesta butuh mengembang, butuh menciptakan unsur-unsur primordial, menghadirkan bintang-bintang, membentuk galaksi-galaksi, memunculkan planet-planet termasuk Bumi kita, menyiapkan kehidupkan, lalu menghadirkan kita. Bukankah fakta ini sangat mengharukan? Tidakkah hal ini membuat kamu merasa tidak punya alasan untuk sombong dan merasa besar?
Detik saat saya menyadari itu beberapa tahun lalu dari Kak Ocha, saya frustasi karena rasanya karir saya sebagai manusia ini tidak terlalu bagus, masih terlalu sering mengutuk hidup, mengeluh, ini dan itu. Padahal, dalam skala umur kehidupan di Bumi dan alam semesta, kemunculan saya dan kita (manusia) tidak lebih dari kedipan mata yang tak signifikan. Huft. Baru saja muncul tapi kadang kita yang paling sok signifikan dan sok penting di muka Bumi ini. Seringkali merasa diciptakan hanya untuk beroksidasi dan menempati puncak piramida rantai makanan, membakar hutan, membunuh sesama, menumpahkan darah, menyakiti hati orang lain, dsb. Sedih, kan?
Nah, coba kita kembali kepada ayat Al-Quran tentang rencana Allah menciptakan Adam, yang kemudian diikuti dengan respon tak terduga dari Malaikat, makhluk yang selalu patuh kepada Tuhan, namun mendadak merasa perlu memberi interupsi "apakah Tuhan bermaksud menciptakan sebagai khalifah, manusia yang senang membuat kerusakan dan melakukan pertumpahan darah?" Tapi kemudian Allah menjawab, sesungguhnya Dia mengetahui apa yang malaikan tidak ketahui.
Sungguh saya tidak punya kapasitas untuk menafsirkan suatu ayat, tapi melihat bagaimana manusia-manusia merendahkan manusia lainnya, sungguh mengerikan. Kita terlalu senang menghakimi dari satu (atau bahkan tidak utuh satu) sudut pandang. Memangnya seberapa tahu manusia tentang hidup manusia lain? Seberapa keras manusia lain berjuang? Seberapa rumit hidupnya? Kita sangat jauh, ya?
Coba kita pikirkan lagi, saat ini sudah berapa banyak manusia yang tak selamat dari mulut manusia lain? Seberapa banyak jari-jari yang mengetik sekenanya, seberapa banyak mulut yang kemudian bisa menghancurkan hati dan perasaan orang lain, atau bahkan mimpi orang lain? Hal-hal yang kemudian bisa menjadi senjata mematikan untuk manusia-manusia lain.
Belum lagi pandangan kita, pikiran-pikiran kita, prasangka kita, iri, dengki, pada sesama manusia. Kenapa bahkan hal-hal seperti ini bisa menjadi sangat destruktif? Apa manfaatnya? Sebetulnya apa yang sedang kita perjuangkan? Nilai-nilai apa ya yang sedang kita bawa?
Well, tapi saya insyaallah akan selalu percaya bahwa hal-hal baik tercipta untuk selalu menjadi pemenang sejati. Manusia memang bisa sangat mengerikan. Tapi bukankah perkara menjadi mengerikan atau sebaliknya adalah pilihan kita?
Loh, loh, ini kok malah tidak membahas Jakarta, ya? Tapi ya begitulah hidup. Jakarta dulu sempat menjadi pilihan saya, yang saya pun tidak tahu bagaimana selanjutnya. Yang ingin saya tekankan di sini, meski kehidupan di sini sangatlah menantang, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Jakarta, yang sudah memberi saya banyak pembelajaran (dan semoga juga rasa syukur). Maafkan saya yang masih sering mengutuk, ya, Jakarta.
Selamat ulang tahun, Jakarta yang ke-496 tahun! Kamu seperti miniatur kegigihan alam semesta yang tangguh. Tetaplah tangguh dan menjadi pemberi manfaat untuk banyak orang. Saya berdoa supaya orang-orang di dalamnya tetap merawatmu.
Terima kasih, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar