Madinah (part 1)

 

Alhamdulillah. Allahuakbar. Bismillahirrohmanirrohim...

Perjalanan umroh saya dimulai tanggal 9 September. Kota pertama yang saya datangi adalah Madinah, tempat saya tinggal sampai tanggal 14 sebelum berangkat ke Mekkah.

Ada yang berbeda dari Madinah. Suasananya adem, tenang, dan setiap langkah terasa lebih ringan. Hati seperti ditenangkan tanpa perlu alasan. Di sinilah, di kota yang penuh sejarah dan doa, saya mengalami satu pertemuan sederhana yang entah kenapa begitu membekas.

Suatu hari, saya sedang duduk sendirian di masjid. Ramai orang, tapi saya datang tanpa teman, hanya ingin menikmati waktu membaca Qur’an. Tiba-tiba seorang perempuan menghampiri dan dengan suara lembut bertanya, “Is there anyone next to you?” Saya tersenyum dan menjawab, “No, please sit here.”

Kami pun duduk berdampingan. Awalnya sibuk dengan sholat sunnah masing-masing, hingga ia menoleh sambil tersenyum dan berkomentar singkat, “Hot air.” Saya tertawa kecil, dan dari kata sederhana itu, mengalirlah percakapan panjang.

Kami berbicara banyak hal. Tentang perjalanan saya dari Indonesia yang memakan waktu lebih dari sepuluh jam, tentang kisah-kisah Rasulullah yang kami sukai, juga tentang buku-buku yang pernah kami baca. Ia sempat bertanya apakah saya masih kuliah atau sudah bekerja. Saya menjawab bahwa saya sudah bekerja. Lalu ia penasaran: “Dulu, di mana kamu kuliah?” Saya bilang, “Di Indonesia, tapi mungkin kampusnya tidak terkenal,” sambil tertawa. Ia menatap saya dan berkata ia tahu beberapa kampus di sana. Dan benar saja, ketika saya menyebutkan nama universitas, ia mengenalnya. Obrolan jadi makin seru.

Saya menjelaskan bahwa konsentrasi saya adalah postharvest technology. Ia terlihat penasaran, jadi saya menceritakan bagaimana bidang itu bekerja dengan contoh sederhana: stroberi. Dari situ kami jadi semakin antusias bertukar cerita.

Sholat berjamaah tiba. Setelah selesai, perempuan itu menoleh dengan sangat halus menegur gerakan sholat saya yang ternyata kurang tepat. Saya kaget sekaligus bersyukur. Saya menjawab lirih, “Thank you so much, I didn’t know before.” Ia tersenyum, memeluk saya dengan hangat, dan berkata lembut, “Now you know, sister.”

Lalu ia pergi. Saya kembali tenggelam membaca Qur’an. Beberapa saat kemudian, ia muncul kembali. Kali ini ia berkata, “Your recitation is so beautiful.” Saya terdiam, hanya bisa tersenyum. Lalu gantian ia membaca Qur’an, dan bacaan itu… masyaAllah, begitu indah, mengalun lembut, penuh rasa. Saya sampai heran, bagaimana bisa ia memuji bacaan saya sementara bacaannya sendiri jauh lebih menyentuh hati.

Di momen itu saya benar-benar tersadar, setiap huruf yang keluar dari bacaan Qur’an saya bukan semata-mata hasil usaha saya sendiri. Ada jejak guru-guru saya di dalamnya. Dari Mba Ari, Pak Jaroni, sampai ustaz saya di SMA, orang-orang yang sabar membimbing saya sejak kecil. InsyaAllah, setiap huruf yang terbaca akan menjadi amal jariyah untuk mereka.

Dan dari Madinah saya belajar, bahwa ilmu sekecil apa pun yang pernah kita terima tidak pernah benar-benar hilang. Ia menempel dalam diri, tumbuh bersama kita, lalu muncul di waktu dan tempat yang paling tidak terduga. Saya belajar bahwa kebaikan kecil dari guru, dari orang tua, dari siapa pun yang pernah menanamkan ilmu, bisa jadi bekal yang menjaga kita seumur hidup. 

Selain itu, saya juga belajar, sesedikit apa pun ilmu yang kita bagi, kita tidak tahu manfaatnya akan seperti apa. Jadi, berbagilah!

Menjelang saya kembali ke hotel, barulah kami saling memperkenalkan diri. Ia tersenyum dan bertanya, "What's your name?", “I’m Mutiara, it means pearl in Indonesian, what abour yours?"
"
My name is Hairin, it means blessing.”

Seketika terasa hangat. Dari awal kami berbicara begitu banyak tanpa tahu nama masing-masing. Justru karena itulah rasanya lebih jujur dan tulus, obrolan yang lahir dari hati, bukan dari formalitas. Dan ketika akhirnya nama itu disebut, seakan Allah menutup pertemuan singkat itu dengan doa yang indah: keberkahan dan mutiara. 

Insyaallah bertemu kembali ya, Kak Hairin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taraxacum

Membumikan Riset

Kation