15 Mei
Siapa sangka, 15 Mei datang—tak dengan pelukan hangat, melainkan setitik duka yang tumbuh menjadi genangan air mata. Ia berdiri. Meski hatinya bersimbah luka, meski malam menolak memberi asanya. Tak ada cahaya celah jendela, udara pun seakan lupa jalannya. Fajar entah ke mana, langit membisu tak biasa. Dari mana ia berharap terang jika segala yang ada adalah gelap? Tapi perempuan itu— ia tetap di tempatnya, mengakar di tanah luka dengan nyala doa yang ia bisikkan lirih: “Tuhan, kasihanilah hamba.” Oh, betapa malang rupanya langkah yang tertatih dalam diam. Namun bukankah ia punya Tuhan yang tak pernah jauh dari air matanya yang jatuh? Maka mari, kita doakan ia— agar tetap seteguh ia, agar Tuhan mengusap kepalanya dengan kasih yang tak hingga. Selamat datang, 15 Mei yang muram. Jadilah teman, bukan beban. Dan biarkan ia tetap hidup, meski hatinya penuh luka. Aku yakin, Ia akan selalu kuat. Karena Tuhan Maha Kuasa, maka, ia, tunggu ya!