Pakde G

Hari ini, pagi ini, lagi-lagi jantung saya seperti tidak pada tempatnya. Salah satu orang yang paling dekat dengan saya, yang sangat menyayangi saya (dan begitu pun saya, saya sangat menyayangi beliau), telah berpulang. Beliau adalah Pakde G.

Saya dan Pakde G tidak pernah ada ikatan darah, kami bukan saudara dari pihak mana pun. Pakde G adalah anak dari Mbok Ti dan Pak Manto (ada tulisan saya di blog ini yang menceritakan mereka). Meskipun tidak ada ikatan darah, Pakde G sangat berkontribusi dalam hidup saya. Saya bisa merasakan kasih sayang yang tulus dari beliau untuk saya dan adik saya.

Pakde G adalah seorang pekerja keras yang pernah merasakan berbagai macam profesi demi bertahan hidup dan menafkahi keluarganya. Mungkin secara ekonomi, beliau bukan orang yang sejahtera, tapi beliau punya rasa cukup. Beliau punya kebahagiaan dengan dirinya sendiri, dengan hidupnya.

Bagi orang lain, mungkin Pakde G bukan siapa-siapa. Tapi bagi saya, Pakde G adalah salah satu dari "segalanya." Beliau adalah sosok yang bahkan lebih tulus dari banyak orang yang memiliki ikatan darah dengan saya. Dari Pakde G, saya belajar tentang kerja keras, tanggung jawab, empati, rasa hormat, dan seni merasa cukup. Beliau mengajarkan saya seni kehidupan.

Tapi hari ini, Pakde G harus kembali ke tempat tinggal kita semua kelak. Beliau berpulang kepada Allah, menuju tempat tanpa batas. Pakde G meninggal di hari Jumat, hari yang mulia. Langit hari ini mendung dan gerimis kecil turun, seperti ikut berduka atas kepergian beliau. Ah, rupanya saya menangis bersama langit pagi ini.

Saya tadi sempat mempertanyakan kepada Allah, kenapa Allah akhirnya benar-benar mengambil semua orang yang saya sayangi? Kenapa Allah mengambil semua orang yang sangat tulus menyayangi saya? Kenapa? Tapi kemudian, ketika menyadari bahwa Pakde G meninggal di hari Jumat, rasanya saya lega. Mungkin, Pakde G memang menunggu hari ini untuk kembali. Bukankah seharusnya saya ikut bahagia?

Namun, andai saja waktu bisa saya ulur, saya pasti melakukannya. Andai waktu bisa bertahan sedikit lebih lama, setidaknya sampai bulan terbelah. Tapi waktu tetap melaju, dan saya hanya bisa merelakan. Saya kira, menghadapi kehilangan akan semudah itu. Tapi ternyata tidak. Hari ini lagi-lagi rasanya seperti dunia saya runtuh.

Langit hari ini mendung sekali, seperti suasana hati saya. Barangkali memang begitulah alam, ikut merasakan hidup. Jadi, wajar jika langit pun menangis.

Jika bisa meminta kepada Tuhan, saya ingin bersama mereka lebih lama, setidaknya 10.000 tahun lagi. Andai saja Pak Manto, Mbok Ti, dan Pakde G tidak sebaik itu kepada saya dan adik saya, mungkin move on-nya akan lebih mudah.

Al-Fatihah untuk Pakde G. Alangkah rapuhnya Tia ditinggal kalian, padahal Tia tahu ruh-ruh tetap hidup, tak pernah pergi. Tapi Tia egois, Tia masih memikirkan rasa sedih ini. Sementara di sisi lain, Tia yakin Pakde G sudah bahagia di sana.

Terima kasih ya, Pakde G. Meskipun kita tidak pernah ada ikatan darah, tapi rasanya cukup. Terima kasih sudah melindungi dan menyayangi Tia dengan amat sempurna, dulu, sekarang, dan insyaallah selamanya. Selamat menerima banyak hadiah dari Allah, Pakde.

Al-Fatihah.

Sekarang, Tia hanya bisa berdoa kepada Tuhan, supaya Bapak selalu sehat, bahagia, dan panjang umur, tolong kali ini beri waktu yang lebih lama.

Dan bertasbih semua makhluk-Mu, tunduk berharap cinta dan kasih-Mu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu: Wijaya

Dream Job

Momiji Kairou: Mapple Corridor