Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

Taraxacum

Sebab menjadi dandelion tak hanya tentang terbang, tapi tentang tahu kapan saatnya menunggu angin yang tepat.  — Setangkai dandelion hari ini pergi lebih pagi. Agaknya ini menjadi ritual tahunan setiap tanggal 22 Juli, sejak enam tahun lalu. Setangkai dandelion adalah perempuan yang masih mempercayakan hidupnya pada Dzat yang Maha Kekal. Hari ini, langkahnya terasa sedikit lebih ringan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Ia pun bertanya-tanya, “apa yang berbeda, ya?” Tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya, ia selalu berdoa supaya di tahun berikutnya ia bisa berada di tempat yang berbeda. Untuk terbang. Menebarkan pappus. Lalu menumbuhkan kehidupan-kehidupan baru. Tapi hari ini, dandelion tidak lagi memanjatkan doa yang sama. Ia hanya berharap, segala perilaku, prasangka, dan perbuatannya tidak menjadi hal yang menakutkan bagi kehidupan. Ia ingin tetap bisa menikmati prosesnya. Proses menjadi dandelion yang pada waktunya, akan menebarkan pappusnya di Bumi. Ia sedang belajar mempr...

Kation

Sudah bisa dipastikan, pada masing-masing tahapan hidup, kita dianugerahi satu dua atau beberapa manusia baik yang cenderung pasrah (?) mau dekat dengan kita. Nah, saya juga punya beberapa, tapi kali ini saya akan bercerita soal dua manusia baik dulu, Kak Ria dan Kak Sarah (maaf banget sok muda tapi di dalam sirkel ini memang saya paling muda. OK. Ya walaupun di kehidupan sehari-hari "Kak" hanya saya gunakan untuk Kak Sarah HAHAHA). Saya juga bisa pastikan ketika membaca tulisan ini, mereka berdua akan mual, muntah, pusing, dan gejala anti alay lainnya. Baiklah, saya tahu ini sedikit alay, tapi tolong kalau kalian yang membaca ini setidaknya jangan pingsan dulu. Mungkin, sudah banyak teman-teman mereka lainnya yang menceritakan kisah inspiresyen dari mereka berdua, maka saya merasa perlu juga menceritakan kisah saya yang cenderung tidak inspiresyen-inspiresyen banget ini yang tapi insyaallah saya buat sejujur mungkin dan penuh kasih sayang (hueks). Well, setelah naik turun dr...

Jakarta ke-498!

Dahulu, di dalam benak saya, Jakarta adalah salah satu kemungkinan, berasosiasi pada opportunity-ambisi-mimpi-pondasi. Maka bagi saya, Jakarta adalah sebuah kebun mimpi yang perlu saya tanami dan saya rawat, untuk kemudian nanti jika beruntung bisa menuai  hasilnya. Susah sekali saya menggambarkan secara utuh bagaimana perasaan saya dengan kota ini, sangat kompleks. Tapi bagi saya, Jakarta dan seluruh sudutnya (jiakh seluruh sudut, anggap saja begitu) merupakan pembelajaran hidup yang insyaallah akan selalu saya simpan dan kenang. Kita (atau saya, ya?) seringkali mengutuk kehidupan. Baik saat macet, saat sedih, saat frustasi, saat patah hati (?), dan lain-lain. Tapi meskipun begitu, saya ingin menyampaikan bahwa kehidupan ini begitu spesial. Meski kita semua tahu, Jakarta memang keras dan seringkali memaksa kita untuk mengutuk kehidupan ini, tetap saja kehidupan ini begitu spesial. Diperlukan komposisi yang pas dan kondisi goldilocks. Di mana segala faktor yang ada serba presisi da...

Pappus

For years, I wore a borrowed name, like a coat that fit just fine, practical, grown-up, tailored for the world beyond childhood. Sunflower, they said. A name that marched, that built, that stood. But somewhere deep in the quiet halls of me, a softer sound kept echoing, Dandelion. A name that danced barefoot in the garden, that giggled under mango trees, that cried only when the stars weren’t looking. I didn't know how much I missed her until the world began to whisper her back into my ears. Not just my roots, not just those who saw me before I knew how to spell my name, but even the new hearts, the ones I’ve only just met, call me Dandelion now. And oh, how the name blooms again. Like jasmine in the dusk, (uh jasmine?) like a song I didn’t know I remembered. Dandelion, she was never lost, only waiting. Waiting beneath layers of grown-up days. Now, when someone says her name, it's not just a sound, it’s a door creaking open, a warm light pouring in, a hand reaching back to hold ...