Mitos Sains? Apa tuh?


Sudah pernah dengar mitos sains? Mitos sains adalah mitos yang dianggap fakta dan banyak dipercaya oleh masyarakat karena diperkuat oleh lembaga pendidikan. Sebagian mitos mengakar di pikiran masyarakat melalui afirmasi media, seperti jargon-jargon di iklan, buku, dan film-film Hollywood. Jargon-jargon yang diulang berkali-kali selama beberapa generasi menjadi tertanam di alam bawah sadar masyarakat. Pun hal tersebut dianggap fakta oleh masyarakat dan mereka tidak mau mencari tahu apakah hal tersebut benar-benar fakta atau tidak. Lalu, bagaimana proses menyebarnya mitos tersebut?  Dibawah ini adalah proses menyebarnya mitos sains :

  • Salah tafsir temuan sains yang valid
Biasanya para jurnalis oversimplifikasi pada konsep yang dipaparkan di jurnal sains yang valid untuk menciptakan headline yang booming atau mengambil kesimpulan hanya dari penggalan-penggalan kalimat. Karena opini jurnalis sudah menyebar ke masyarakat, ilmuwan akan kesulitan saat ingin memaparkan hasil penelitian yang sebenarnya pada jurnal yang valid.

  • Konsep sains yang udah kedaluwarsa

Masyarakat kita pada umumnya sulit untuk menerima konsep-konsep ilmiah terbaru. Mereka lehib memilih konsep ilmiah lama, padahal sudah ada hasil penelitian terbaru yang menggantikan atau menyempurnakan konsep sains yang lama.

  • Konsep tidak ilmiah tapi ‘mengaku’ ilmiah

Banyak penelitian yang tidak memperhatikan konsep serta variable-variabel dalam penelitian. Jadi hanya memakai logika manusia dan tanpa dasar ilmiah yang jelas. Sehingga temuan-temuan tersebut belum bisa dikatakan konsep yang ilmiah, namun konsep yang mengaku ilmiah. 

Nah, setelah mini riset dari beberapa loteratur, berikut ini adalah beberapa mitos sains yang masih dipercaya oleh masyarakat :
  • Pembagian otak kanan-kiri memengaruhi gaya belajar
Mitos ini adalah mitos populer dikalangan siswa SMA. Hal ini dikarenakan guru-guru juga ikut memengaruhi siswanya dengan mitos ini. Menelan konsep ini metah-mentah bisa berbahaya.
Coba aja cermati kalimat-kalimat berikut:

 “kamu tuh tipe otak kanan, kayaknya emang lebih cocok masuk IPS”
“anak IPA itu dominan otak kiri”
“pengen sih belajar piano, tapi gue kan anaknya otak kiri ya, kayaknya ga bisa deh kalo disuruh belajar musik dan seni gitu”

Kalimat-kalimat di atas seakan-akan mencoba mengkotak-kotakan, membentuk stereotyping yang menggerus harga dan kepercayaan diri, hingga menghambat potensi seseorang. Kita seperti menghakimi diri kita sendiri dengan label yang membuat kita malas untuk berusaha. Padahal kita tahu, kesuksesan itu adalah resultan dari usaha keras dan konsisten serta mindset yang positif.

Parahnya, kalimat-kalimat di atas didasarkan atas konsep yang keliru. Dikotomi otak kanan-kiri lahir dari salah tafsir sebuah eksperimen sains terhadap otak (split brain experiment) di tahun 1960an. Walaupun ada distribusi kerja di masing-masing bagian otak, faktanya, otak kanan dan kiri kita tidak pernah terisolasi satu sama lain dan selalu bekerja sama ketika melakukan suatu kegiatan apapun.
  • Manusia baru memakai 10% kapasitas otaknya
Mitos otak yang satu ini menyatakan kalau manusia baru memanfaatkan 10% kapasitas otaknya, 90% lagi masih belum dimanfaatkan dengan optimal. Biasanya mitos ini juga dibarengi dengan mitos serupa, seperti “Einstein sudah bisa memanfaatkan otaknya 16%, manusia biasa baru 10%”. Kalau memang baru 10% kapasitas otak yang kita manfaatkan, maka kita tidak bisa membaca. Fakta bahwa bisa membaca artikel ini menunjukkan bahwa otak kita bekerja sepenuhnya. Jika hanya 10% bagian otak kita, mungkin kita sudah stroke.
Sama dengan mitos otak sebelumnya, mitos ini juga lahir dari salah tafsir sebuah eksperimen sains. Mitos ini bisa populer karena seakan memberi pengharapan (palsu) pada pelajar yang nilainya jelek atau pas-pasan bahwa ada cara instan untuk mengaktivasi 90% bagian otak lainnya. Hal yang paling penting adalah usaha keras memang harga mati untuk meraih apa yang kita inginkan.
Everything has its price
Einstein sendiri bilang,
"I have no special talent. I am only passionately curious."
Kalau masih penasaran tentang mitos ini  bisa dibaca dilaman ini.
  • Lidah punya zona-zona untuk mengecap rasa tertentu
Materi ini pasti kalian dapatkan ketika belajar Biologi di sekolah. Gagasan ini menyatakan bahwa lidah sebagai indera pengecap mempunyai area tertentu untuk mengecap rasa yang berbeda. Dari mana mitos ini lahir? Konsep ini bermula dari sebuah penelitian yang tidak memiliki landasan kuat. Pada 1901, seorang ilmuwan Jerman melalukan penelitian terhadap sensitivitas lidah pada 4 rasa yang umum (manis, asam, asin, pahit). Ditemukan bahwa terdapat perbedaan waktu pada bagian2 lidah untuk bisa mendeteksi rasa dari suatu zat makanan. Tapi perbedaan waktunya sangat tipis dan tidak terlalu signifikan. Entah kenapa, terjadi simplifikasi bahwa perbedaan waktu ini dibilang jadi perbedaan sensitivitas. Padahal, walaupun satu bagian pada lidah bisa mendeteksi suatu rasa sedikit lebih cepat, semua bagian pada lidah bisa bisa merasakan semua jenis rasa dengan level intensitas dan sensasi yang sama.

Sebenarnya sangat gampang apabila kita ingin membuktikan peta rasa pada lidah itu keliru. Saat garam kita taruh di lidah kita, lidah kita bisa merasakan rasa asin. Taruh gula di pangkal lidah, kita akan tetap bisa merasakan rasa manis. Berbagai penelitian dan dekontruksi pemahaman terkait peta rasa pada lidah yang lahir seabad lalu ini sudah banyak dilakukan. Yang terbaru adalah penelitian pada 2014 yang berhasil mengungkap bahwa ada 8.000 sensor yang tersebar di lidah dapat merasakan berbagai rasa secara merata, bukan per bagian. Yang masih menjadi misteri adalah kenapa konsep yang sudah kedaluwarsa ini masih diajarkan di sekolah. Bukan hanya di negara kita Indonesia, Amerika juga masih mmakai konsep ini.


Ini baru 3 mitos sains yang masih dipercaya oleh masyarakat. Masih banyak mitos sains yang lain dan menjadi tertanam pada masyarakat. Untuk tahu lebih jauh bisa cek di zenius.net. Nah, kita sebagai kaum terpelajar sudah sewajarnya apabila menerima informasi mengenai apapun mencari tahu terlebih dahulu kebenaran dan dasarnya, supaya tidak menjadi mitos sains yang tersebar di masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu: Wijaya

Dream Job

Momiji Kairou: Mapple Corridor