The five years journey

Hari ini saya berangkat ke kantor lebih pagi. Biasanya saya berangkat 07.25 karena memang hanya perlu 5 menit untuk perjalanannya, tapi hari ini saya berangkat pukul 07.17. Sebetulnya saya juga beberapa kali berangkat lebih pagi, hanya saja biasanya memang ada agenda atau perlu ke suatu tempat sehingga berangkat lebih pagi adalah keputusan yang bijak untuk tidak terjebak macetnya Jakarta.

Hari ini, pukul 07.15 saya sudah bersiap mengambil ransel, memakai sepatu, dan mematikan lampu kamar. Kemudian pukul 07.17 saya keluar gerbang rumah. Langitnya tidak begitu biru, tapi menurut perkiraan cuaca tidak akan hujan hari ini. Saya tapaki jalanan yang biasa saya lalui, bedanya hari ini saya benar-benar rasakan langkah demi langkahnya. Saya resapi satu per satu. Saya perhatikan sekelilingnya, orang-orangnya, batu-batuan kecil, kabel-kabel di atas rumah, lubang selokan yang bentuknya nyaris tak beraturan, pepohonan, daun-daun, dahan-dahan yang berderak. Semua. 

Sampai di kantor, kantor belum terlalu ramai. Saya memulai hari dan mengerjakan tugas saya. Sepanjang hari, rasanya saya seperti melayang. Saya bekerja tapi pikiran saya kemana-mana. Hari ini saya genap lima tahun bekerja di perusahaan tempat saya bekerja. Sebuah perjalanan yang tak pernah saya sangka. Bertahan selama lima tahun di sini, di bidang yang bukan passion saya. Dulu, saat mau masuk ke perusahaan ini, yang saya pikirkan hanya saya mendapatkan gaji untuk persiapan kuliah master dan untuk adik saya yang mau kuliah. Jadi, dulu peran apa pun bukan masalah. Sampai pada akhirnya saya menemukan diri saya kembali, yang punya mimpi. 

Menyadari bahwa saya masih memiliki mimpi yang ingin saya gapai, rasanya melegakan sekali. Saya lega karena saya tahu ke mana hidup saya akan saya bawa. Ke mana saya akan melangkah. Mau seperti apa ke depannya. Tapi bingung juga sudah pasti, saya bukan lulusan manajemen apalagi psikologi, tapi bidang pekerjaan saya saat ini justru lebih bersinggungan dengan ilmu tersebut. Kemudian di ujung jalan saya baru menyadari bahwa bukan ini yang ingin saya tuju dalam hidup. Rasanya bingung. Bingung bagaimana menyusunnya kembali. Mempertanyakan, apakah bisa saya menggapai mimpi saya lagi?

Tapi begitulah sifat manusia, yang sering membuat batasannya sendiri, padahal ada Tuhan Maha Segalanya. Maha Perkasa. Fiuuuuh. Ngomong-ngomong, saya ingin sekali berterima kasih kepada diri sendiri yang sudah sangat kuat sejauh ini, yang sudah selalu mencoba berdamai dengan keadaan, yang sudah selalu mencoba ini dan itu, terima kasih ya! Kemudian saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga dan teman-teman saya yang masih bersama saya, berjalan beriringan, tanpa kalian, entah bagaimana saya. Dan yang paling penting, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam. Tiada satu dzat pun di Bumi ini yang sesempurna Allah, yang Maha Segalanya. Terima kasih, ya Allah atas segala pemberianMu, terima kasih sudah selalu dikuatkan.

Saya dan kalian tahu bahwa hidup ini tidak mudah, tapi katanya jiwa yang arief  adalah jiwa yang sabar dan ikhlas, itulah mengapa menjadi penghuni surga itu tidak mudah. Meskipun saya tahu bahwa saya (dan mungkin kalian juga) sering sekali mengutuk kehidupan ini, tapi kehidupan ini terlalu spesial. Diperlukan komposisi yang pas dan kondisi Goldilocks, di mana segala faktor yang ada serba presisi dan tepat hingga kehidupan bisa muncul. Sesuatu yang mungkin memiliki probabilitas mendekati nol. 

Alam semesta butuh mengembang, butuh menciptakan unsur-unsur primordial, menghadirkan bintang-bintang, membentuk galaksi-galaksi, membentuk planet-planet termasuk Bumi, kemudian menyiapkan kehidupan, lalu menghadirkan kita semua. Tidakkah hal ini membuat kita merasa tidak punya alasan untuk sombong dan merasa besar? 

Dalam skala umur kehidupan di Bumi dan alam semesta, kemunculan kita ini tidak lebih dari satu kedipan mata yang tak penting. Kita baru saja muncul tapi kadang kita yang paling sok penting di muka Bumi ini. Merasa menduduki puncak piramida rantai makanan, membakar hutan, membunuh sesama, menumpahkan darah, dan semuanya. Sedih ya.

Seperti saya yang seringkali tidak sabaran dan kurang ikhlas ini, merasa seakan-akan dunia sangat tidak adil, padahal saya saja yang belum tahu apa maksud Allah memberikan kehidupan saya ini. Astaghfirullah. Dan ya, perjalanan lima tahun untuk bertahan mungkin terasa berat dan panjang, tapi semoga saya bisa selalu yakin bahwa semua ada waktunya, Allah Maha Presisi. Seperti Bumi yang membutuhkan waktu tidak sebentar untuk menyiapkan kehidupan, mungkin beginilah cara Allah menyiapkan saya untuk tantangan selanjutnya. Aku berlindung kepada Engkau ya Tuhanku dari segala sifat tamak dan serakah, muliakanlah aku, kedua orang tuaku, keluargaku, dan teman-temanku di dunia dan di akhirat.

Untuk Epilog, saya berdoa supaya semua tukang di muka Bumi ini dimudahkan rezeki dan kebahagiaannya. Semoga tukang cilok, tahu gejrot, es cendol, mie ayam, sol sepatu, beras, galon, starling, tambal ban, gorengan, dll selalu sehat, bahagia, dan dilimpahkan rahmat dari Allah. Aamiin, terakhir, hanya kepada Mu aku memohon, mudahkan jalanku untuk meraih mimpiku, kuatkan aku, aku yakin sebentar lagi aku akan sampai di sana, di tujuanku. Aamiin.

Selamat 5 tahun ya! Ayo semangat lagi untuk meraih mimpi dan cita-citamu! Yakinlah bahwa Allah memeluk mimpi-mimpi dan doa-doamu, Tia! Semangat tahun depan kamu akan sampai di tujuanmu. Aamiin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Diri: Sustainability dan Inspirasi dari SukkhaCitta