Momiji Kairou: Mapple Corridor

Tulisan ini akan sedikit lebih panjang dan saya modenya serius (wkwkwk), jadi siap-siap ya!

Ada banyak sekali hal di dunia ini yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Ada banyak sekali hal di dunia ini yang tidak pernah kita bayangkan, malah kejadian. Tapi, kita tidak memiliki kontrol akan hal-hal tersebut. Yang jelas under control kita adalah diri kita sendiri. 

Adalah benar ketika kita berusaha tapi sometimes tetap tidak terjadi. Menurut kita, kita sudah berusaha semaksimal mungkin tapi kemudian ternyata Tuhan melihat itu justru ke depannya tidak baik untuk kita, maka diberilah hal lain yang menurut Tuhan jauh lebih baik untuk kita. Tentu saja untuk kita itu adalah hal yang menyebalkan, bahkan fase accepting juga bermacam-macam, tapi itu manusiawi. Normal. Questioning apa yang sebetulnya sedang terjadi dan apa yang sedang kita alami, itu normal. Apalagi respon emosi kita, sangat wajar. Sedih, senang, kecewa, takut, dst adalah hal yang benar. Bedanya adalah bagaimana respon kita setelah kita mengenali emosi tersebut. Bagaimana kita bersikap dan bagaimana langkah kita ke depannya. Semua sepenuhnya kita yang menentukan. Kita punya kontrol penuh akan hal itu.

Untuk saya, yang tumbuh pada lingkungan minim privilege (atau bahkan tidak punya privilige), gagal adalah makanan sehari-hari. Tapi untungnya saya selalu mau bangun, mau bangkit lagi. Dari kecil, saya mencoba banyak hal, karena saya tidak mengalami yang mungkin sebagian orang rasakan: direct diminta untuk les biola, les piano, les ini itu. Saya mencari tahu dan menemukannya sendiri. Alhamdulillah, somehow itu menjadi hal yang menurut saya malah seru, terima kasih ya bapak dan ibu.

Mencoba banyak hal dari usia sangat dini membuat saya sangat mengenal diri saya sendiri. Sekarang, saya bisa bilang bahwa saya suka astronomi, saya suka musik, saya suka membaca, saya suka meneliti sesuatu, saya suka science, saya suka basket: itu semua saya temukan sendiri. Saya menjadi pemeran utama dalam penemuan-penemuan saya tersebut. 

Hal-hal yang saya suka tersebut kemudian yang membuat saya bisa memilih jalan hidup saya. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa untuk saya, gagal adalah makanan sehari-hari. Saya terbiasa mencoba ini dan itu, trial and error sampai pada akhirnya berhasil. Untuk konteks kali ini, saya seperti manusia pada umumnya (semoga memang umum, atau jangan-jangan saya saja? haha). Memasuki usia 22 tahun, banyak hal di benak saya yang saya juga belum tahu jawabannya, ada atau tidaknya jawaban, saya juga tidak tahu. Banyak hal baru yang terjadi dan harus saya hadapi, hadapi ya, bukan selesaikan. Karena kadang tidak perlu diselesaikan. Rasa-rasanya tidak pernah ada kisi-kisi kalau saya akan menghadapi semua ini. Dan tidak seperti di sekolah, kalau kondisi setiap murid most likely sama. Kalau di hidup, benar-benar bervariasi. 

Tidak ada juga yang tahu yang benar seperti apa, semua manusia punya perspektif mereka masing-masing. Hanya saja terkadang sosial membentuk suatu standar yang seakan-akan harus dipenuhi oleh manusia. Padahal, ya belum tentu. Manusia bebas menentukan pilihan dan jalannya. 

Kalau saya, setelah saya menyelesaikan kuliah sarjana saya, saya memilih bekerja di salah satu perusahaan swasta di Indonesia. Jika kalian bertanya apakah ini yang saya mimpikan? Tidak, bukan ini. Tapi mungkin memang ini yang paling baik yang bisa saya lakukan sejak 5 tahun yang lalu sampai hari ini. Berdamai dengan hal itu tentu tidak mudah, tapi saya coba sambil merawat mimpi saya yang mungkin suatu hari nanti bisa saya wujudkan. Tapi syukurlah, karena kasih sayang Allah yang tak terhingga ditambah dari kecil saya terbiasa menghadapi realita dunia yang memang ada sisi berhasil dan gagal, jadi tidak begitu sulit.

Beberapa waktu yang lalu, saya berhasil panen dari mimpi saya yang selalu saya rawat: menjadi akademisi yang punya riset dan bermanfaat untuk dunia. Saya menerbitkan jurnal penelitian di bidang yang saya sukai dari kecil, betul saya menyukai astronomi, tapi sebetulnya kalau dilihat lebih spesifik lagi, saya lebih deep pada astrobiologi, yang kemudian membuat saya tumbuh menjadi orang yang menyukai penelitian di bidang pangan dan pertanian. Saya menerbitkan jurnal agro-science, tentang buah favorit saya: stroberi. Rasanya saya sangat terharu dan berterima kasih pada diri sendiri, karena dengan realita dunia yang mungkin bukan yang saya mau, tapi saya masih berusaha merawat mimpi saya, memupuknya, yang saya harap saya segera bisa menuai hasilnya.Terima kasih ya, Tia.

Nah, kalau kalian bertanya kenapa saya masih bertahan pada pekerjaan saya saat ini alih-alih mewujudkan cita-cita saya? Jawabannya adalah, saat lulus, ketika saya ingin langsung melanjutkan ke pendidikan master, saya tidak punya uang haha. Pada saat itu, saya buat rincian biaya untuk persiapan masternya berikut dengan tes IELTS dst, tidaklah murah untuk saya. Lalu kenapa saya tidak minta kepada orang tua? Saya punya adik, dan adik saya masih sekolah, jadi saya pikir saat itu, saya kurang bijak jika harus membebankan kepada orang tua saya. Dari saya sekolah pun saya terbiasa kerja paruh waktu untuk bantu-bantu orang tua. Jadi, saat itu kendala saya adalah biaya. Udah itu aja. Kemudian saya coba apply pekerjaan, dan rejekinya di sini, bisa beberapa waktu lah saya kerja buat persiapan sekolah, pikir saya waktu itu.

Sambil kerja, saya tetap keep in touch dengan profesor saya dan beberapa dosen. Saya juga tetap menyiapkan sekolah. Saya pun kalau ditotal, sepertinya sudah ditolak sekitar 12 beasiswa pemerintah beberapa negara untuk studi master. Kenapa saya hitung ya? Karena ya kenapa tidak hahaha. Pada beberapa momen, saya sempat tidak konsisten, saya pernah jadi berkeinginan untuk melanjutkan bidang kerja saya saat ini, jadilah saya mendaftar kuliah yang relate dengan pekerjaan saya. Pernah juga saya ingin jadi konsultan, jadi ketika menulis essay saya ceritakan kenapa saya ingin menjadi konsultan, dan masih banyak lagi. Pokoknya dari 12 beasiswa yang pernah saya daftarkan itu, sangat bermacam-macam.

Kemudian beberapa waktu yang lalu, saat saya menerbitkan jurnal dan mengobrol dengan profesor saya sewaktu kuliah sarjana, saya menemukan diri saya: Tia yang menyukai penelitian, bidang pangan, bidang pertanian. Tia yang semangat sekali ketika sedang riset dan menulis riset, tidak peduli selelah apa pun. Bahkan kalau saya kembali pada waktu penelitian tugas akhir sarjana, saat kacau banget karena sampel penelitian saya kebakar semua akibat erupsi Merapi, saya tetap bisa enjoy dan handel masalah tersebut dengan baik. Seperti itu Tia yang saya kenal. Fiuh, ternyata Tia sempat hilang beberapa tahun, ya.

Dari obrolan tersebut, kemudian membuat saya berpikir, oh ini ya yang aku mau? ini ya yang ingin aku wujudkan? Jadi yang kemarin itu ya krisis aja, krisis identitas. Hilang, tapi kemudian saya berusaha mencari jalan keluar, tapi tersesat lagi dan lagi. Ga nemu-nemu. Tapi sekarang saya sudah menemukannya, menemukan saya, menemukan apa yang saya ingin tuju. Meskipun sudah 12 kali ditolak beasiswa (yang mana saya tidak menyesal sama sekali. Karena dari sana saya juga tumbuh, saya belajar), saya akan mencoba lagi. Dengan Tia yang sudah tahu apa yang ingin ia capai dan tujuan yang ingin ia datangi. Dengan Tia yang kini sudah menemukan dirinya kembali. Meskipun mungkin akan dimulai lagi dari nol, tapi tidak apa, demi mimpi yang sudah dirawatnya selama ini. Doakan saya, ya!

Well, begitulah hidup, kadang memang harus berputar-putar dulu, harus ups and downs dulu, harus kesana kemari dulu, baru kita temukan jawabannya. Tapi at least, di perjalanan kita berputar-putar itu, kita mencoba sesuatu yang kemudian membuat kita jadi tahu apa yang kita suka, apa yang tidak kita suka, apa yang kita mau, apa yang kita tidak mau. Kita tumbuh. Coba bayangkan kalau kita tidak mencoba, kita tidak mendapatkan apa pun. Jadi, yang kita perlukan adalah terus bergerak. Seperti Bumi, yang terus berotasi untuk bisa mempertahankan posisinya di orbit dan tidak ketarik oleh matahari. Once Bumi berhenti, dia akan ketarik gravitasi matahari yang jauh lebih besar, hancur sudah. Jadi janji ya akan terus bergerak?

Oh ya, kalau ada yang membaca tulisan saya ini dan sedang bingung juga, saya kemarin menemukan hal berharga yang mungkin bisa menjadi referensi untuk mengambil keputusan: bagaimana sikap kita saat kondisi krisis adalah hal penting yang perlu kita pertimbangkan. Kalau kita into terhadap sesuatu, mau kondisi se-krisis apa pun, pasti kita akan tetap enjoy, maksudnya bukan berarti kita tidak akan ada emosi sedih atau kondisi downs, tapi lebih ke kita lebih mudah meregulasi emosi dan bangkit lagi. Tapi kalau kita melakukan sesuatu yang mungkin kita tidak terlalu into that, akan jauh lebih sulit atau bahkan ya akan avoiding itu.

Nah, PR-nya adalah mengenal diri kita sendiri, mengetahui apa yang sebetulnya kita suka. Jawabannya bisa ditemukan dengan mencoba apa pun yang bisa kita usahakan. Lagi-lagi, kita harus tetap bergerak. Tetaplah bergerak, ya!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


English version:
There are many things in this world that may not turn out as we expect. There are countless occurrences in this world that we never imagined would happen. However, we do not have control over these things. What is definitely under our control is ourselves.

It is true that we try our best, but sometimes things still don't work out. We may think we've exerted maximum effort, only to realize later that perhaps God saw it wouldn't be good for us in the long run, so He grants us something else that is far better in His eyes. Of course, for us, it can be frustrating, and accepting it can take various forms, but that's human nature. It's normal. Questioning what is actually happening and what we are experiencing is normal. Our emotional responses—sadness, happiness, disappointment, fear, and so on—are legitimate. The difference lies in how we respond once we recognize those emotions. How we act and the steps we take forward are entirely up to us. We have full control over that.

For me, growing up in a less privileged environment (or even without privilege at all), failure was an everyday experience. But fortunately, I always wanted to rise, to bounce back. Since I was young, I tried many things because I didn't experience what some people might: being directly enrolled in violin lessons, piano lessons, or other activities. I sought out and discovered these things myself. Alhamdulillah, somehow it became something I found enjoyable, so thank you, bapak and ibu.

Trying many things from a very young age helped me understand myself deeply. Now, I can say that I love astronomy, I love music, I love reading, I love researching things, I love science, I love basketball—all of these I discovered on my own. I became the main actor in these discoveries.

These interests are what allowed me to choose my path in life. As I mentioned earlier, failure was an everyday experience for me. I got used to trying this and that, trial and error, until eventually succeeding. In this context, I am just like any other human being (hopefully it's common, or maybe it's just me? Haha). At 22, many things are on my mind for which I don't yet have answers. Whether there are answers or not, I don't know. Many new things are happening that I must face—not solve, but face. Because sometimes they don't need solving. It feels like there was never a guideline for facing all of this. Unlike in school where conditions for each student are mostly similar, in life, they vary greatly.

No one really knows what's right; each person has their own perspective. Sometimes society creates a standard that seems like it must be met by everyone. However, that's not necessarily true. People are free to make choices and forge their own paths.

As for me, after completing my undergraduate studies, I chose to work at a private company in Indonesia. If you ask me if this was my dream job, no, it wasn't. But perhaps it was the best thing I could do from five years ago until today. Accepting that wasn't easy, but I tried while nurturing my dream, hoping that someday I can achieve it. But I am thankful because of Allah's endless love, and from a young age, I was accustomed to facing the realities of a world that includes both success and failure, so it wasn't that difficult.

Some time ago, I made my dream I had always nurtured come true: becoming an academic who conducts research beneficial to the world. I published research journals in a field I've loved since childhood—astronomy, but more specifically, astrobiology—which led me to develop a passion for research in agriculture and food science. I published an agro-science journal on my favorite fruit: strawberries. I feel deeply touched and grateful to myself because despite living in a world that wasn't necessarily what I wanted, I continued to nurture my dreams, cultivating them in the hope that I will soon reap the rewards. Thank you, Tia.

Now, if you ask why I'm still sticking with my current job instead of pursuing my dreams, the answer is simple. When I graduated and wanted to continue to a master's degree, I didn't have the money, haha. At that time, I made a budget plan for preparing for my master's, including IELTS tests, and it wasn't cheap for me. Why didn't I ask my parents? I have a younger sibling who was still in school, so I thought it wouldn't be wise to burden my parents. Even during my school days, I worked part-time to help my parents. So, at that time, my constraint was financial. That's all. Then I tried applying for jobs, and here I am, working to prepare for school for some time, I thought at that time.

While working, I kept in touch with my professors and some lecturers. I continued to prepare for school. If I tally it up, I've been rejected for about 12 government scholarships from several countries for my master's studies. Why do I count them? Well, why not, haha. At times, I wasn't consistent. I once wanted to continue in my current field of work, so I applied for a related course. I also wanted to become a consultant, so in my essays, I explained why I wanted to become one, and there's more. So, of the 12 scholarships I applied for, there was quite a variety.

Then, some time ago, when I published a journal and chatted with my professors from my undergraduate days, I rediscovered myself: Tia, who loves research, especially in food and agriculture. Tia, who is passionate when researching and writing, no matter how tired. Even when I recall my final research project in undergrad, when everything was chaotic because my research samples were destroyed in the Mount Merapi eruption, I still managed to enjoy it and handle the situation well. Phew, it turns out Tia was lost for a few years.

From that conversation, I began to think, "Oh, is this what I want? Is this what I want to achieve?" So what happened before was just a crisis, an identity crisis. Lost, but then I searched for a way out, but kept getting lost. Couldn't find it. Now I've found it, found myself, found what I want to pursue. Even though I've been rejected 12 times for scholarships (which I don't regret at all because I grew from it, I learned), I will try again. With Tia now knowing what she wants to achieve and the goals she wants to reach. With Tia who has rediscovered herself. Even if it means starting from scratch again, it's okay, for the dream she has nurtured all this time.

Well, that's life; sometimes it has to spin around first, go up and down first, go here and there first, before we find the answers. But at least, in our wandering journey, we try things that help us learn what we like, what we don't like, what we want, and what we don't want. We grow. Imagine if we never tried, we'd never gain anything. So, what we need to do is keep moving. Like Earth, which rotates continuously to maintain its position in orbit and not be pulled by the sun's gravity. Once Earth stops, it will be drawn into the much greater gravitational force of the sun and be destroyed. So, promise to keep moving forward?

Oh ya, if anyone reading my writing is also confused, I recently found something valuable that might be a reference for making decisions: how we handle ourselves during a crisis is crucial. If we're passionate about something, no matter how severe the crisis, we'll still enjoy it—meaning we won't be devoid of sad emotions or downtimes, but we'll be better at regulating our emotions and bouncing back. But if we do something we're not that into, it'll be much harder or we might even avoid it.

So, the important thing is to know ourselves, to understand what we really like. The answer can be found by trying anything we can. Again, we must keep moving forward. Keep moving forward!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Diri: Sustainability dan Inspirasi dari SukkhaCitta

The five years journey