Riset dan Kolaborasi Global

Belakangan ini, saya terinspirasi oleh Kak Bagus Muljadi, seorang Associate Professor di University of Nottingham. Beliau adalah contoh nyata bagaimana riset dapat menjadi kontribusi nyata, tidak hanya untuk dunia akademik, tetapi juga untuk masyarakat dan bangsa. Gagasan beliau untuk menjadikan Indonesia kiblat riset global memberikan visi besar yang sangat relevan dengan tantangan dan peluang yang kita hadapi saat ini. Saya merasa sangat resonate dengan beliau karena pertama, minat kami sama, yaitu dalam dunia akademik, kemudian kami memiliki visi yang sama dalam bidang riset, dan yang beliau pelan-pelan lakukan tersebut juga yang ada di benak saya ketika seseorang menanyakan bagaimana saya akan berkontribusi untuk Indonesia (well, semoga Kak Bagus berkenan ya saya samakan dengan saya).

Nah, yang membedakan adalah, perjalanan saya dan beliau berada di tahap yang berbeda. Jika Kak Bagus sudah di tahap implementasi, saya masih di tahap awal—belajar, menyerap, dan membangun pemahaman tentang bagaimana riset bisa menjadi solusi konkret.

Dalam diskusi-diskusi beliau, termasuk dalam podcast bersama Pak Gita Wirjawan, Kak Bagus menekankan bahwa riset tidak hanya soal publikasi ilmiah. Lebih dari itu, riset dapat menjadi kekuatan untuk menciptakan impact, menjembatani hubungan internasional, dan memperkuat kebijakan berbasis bukti.

Membangun Jembatan Riset untuk Indonesia: Antara Diaspora, Kolaborasi, dan Dampak Nyata

Menjadi akademisi adalah perjalanan yang lebih dari sekadar publikasi ilmiah. Dalam pandangan saya, akademisi, khususnya mereka yang menjadi diaspora, memiliki peluang untuk memainkan peran penting dalam membangun hubungan bilateral antarnegara melalui kolaborasi saintifik yang strategis, seperti yang dilakukan oleh Kak Bagus.

Sebagai contoh, saya percaya bahwa riset bukan hanya tentang menambah jumlah publikasi di jurnal bereputasi kemudian banyak sitasi, tetapi juga bagaimana hasil riset tersebut dapat menciptakan impact nyata, baik bagi Indonesia maupun dunia. Misalnya, kolaborasi saintifik internasional bisa menjadi alat diplomasi yang kuat. Dalam konteks Kak Bagus yang saat ini menjadi peneliti di Inggris, beliau melihat potensi untuk membentuk kerangka kerja (framework) yang memungkinkan jalur pendanaan riset dari kedua negara. Ini bisa diarahkan untuk mendanai bidang-bidang strategis, seperti perubahan iklim, food waste, ketahanan pangan, atau bahkan inovasi teknologi yang relevan untuk Indonesia.

Tantangan Riset di Indonesia

Salah satu masalah utama di Indonesia adalah budaya linearitas dalam dunia akademik, di mana riset interdisipliner jarang dilakukan. Padahal, riset lintas disiplin memiliki potensi besar untuk memberikan solusi nyata, misalnya, untuk isu climate change, food waste dan pertanian

Riset tidak seharusnya hanya menghasilkan publikasi ilmiah. Lebih dari itu, riset bisa menjadi alat untuk membangun kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy), menciptakan jalur pendanaan baru untuk isu strategis, serta mempererat hubungan bilateral melalui kolaborasi saintifik lintas negara.

Sayangnya, masih ada kesenjangan besar di Indonesia. Akademisi sering kali hanya fokus pada publikasi ilmiah tanpa mempertimbangkan bagaimana hasil riset mereka dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan yang berdampak langsung bagi masyarakat luas. Banyak karya akademik yang sangat canggih, tetapi sayangnya tidak pernah keluar dari lingkungan akademis—tidak dibaca oleh masyarakat umum, bahkan tidak relevan dengan isu sehari-hari seperti perubahan iklim atau ketahanan ekonomi global.

Sebetulnya, ini bukanlah kesalahan mereka, karena memang mereka tidak dilatih untuk itu. Sistem saat ini di Indonesia belum memberikan insentif yang memadai untuk menjembatani riset dengan kebijakan. Padahal, di negara-negara maju, konsep seperti DORA Agreement mulai mendorong akademisi untuk menghasilkan dampak nyata, bukan sekadar publikasi dan sitasi.

Note: DORA (Declaration on Research Assessment) Agreement adalah sebuah inisiatif internasional yang berfokus pada perubahan cara penilaian keberhasilan akademisi dan lembaga penelitian. DORA diluncurkan pada tahun 2012 oleh para ilmuwan yang hadir dalam pertemuan di San Francisco, dan tujuannya adalah untuk mengurangi ketergantungan pada metrik yang tidak mencerminkan kualitas riset secara akurat, seperti jumlah publikasi atau faktor dampak jurnal (impact factor).

Sebagai contoh, universitas di beberapa negara memberikan penghargaan kepada peneliti yang menunjukkan bagaimana riset mereka memecahkan masalah nyata, seperti membantu menurunkan angka kemiskinan, mengurangi emisi karbon, atau bahkan menciptakan teknologi hemat energi. Sayangnya, di Indonesia, metrik keberhasilan akademisi masih sebatas pada kuantitas publikasi, bukan kualitas dampaknya terhadap masyarakat.

Mengatasi Gap Akademisi dan Publik

Saat ini, masih ada kesenjangan besar antara dunia akademisi dan masyarakat luas. Banyak riset yang canggih, tetapi kurang relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat. Akademisi seringkali terjebak dalam menara gading, fokus pada publikasi dan pengakuan ilmiah, tetapi kurang mampu menjembatani hasil penelitian mereka dengan kebijakan publik atau solusi nyata.

Kita membutuhkan komunikasi sains yang lebih baik (science communication). Peneliti perlu dilatih untuk menyampaikan riset mereka dalam bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat umum, pemerintah, dan sektor swasta. Komunikasi ini penting agar riset tidak hanya menjadi tumpukan dokumen, tetapi juga memiliki dampak nyata.

Riset sebagai Soft Power Indonesia

Di kancah internasional, Indonesia masih tertinggal dalam hal sains dan teknologi. Tidak ada insentif yang cukup untuk mengembangkan talenta-talenta terbaik kita di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Sebaliknya, negara seperti Tiongkok dan India berhasil menjadikan diaspora mereka sebagai kekuatan besar yang menghubungkan riset domestik dengan komunitas global.

Kita perlu strategi yang serupa. Akademisi Indonesia di luar negeri harus dilihat sebagai aset. Mereka bisa menjadi duta sains yang membawa nama baik Indonesia di dunia internasional, sekaligus menjembatani kolaborasi antara institusi dalam negeri dan luar negeri.

Konsorsium dan Kolaborasi Internasional: Jalan Menuju Kemajuan

Salah satu solusi yang saya bayangkan adalah pembentukan consortium antara universitas-universitas di Indonesia dan institusi global. Konsorsium ini bisa menjadi platform bagi mahasiswa, dosen, dan peneliti untuk menikmati learning environment seperti di Jepang, Inggris, atau negara lain tanpa batasan geografis. Lebih penting lagi, konsorsium ini harus berada di tingkat rektorat, sehingga dapat melibatkan pemerintah kedua negara dalam peta jalan (roadmap) kerja sama bilateral di bidang riset dan inovasi.

Dalam skenario ini, kita bisa membawa diskusi ini ke ranah pembuat kebijakan. Misalnya, menjadikan konsorsium ini sebagai bagian dari dokumen kerja sama bilateral antara Indonesia dan negara lain. Tujuan akhirnya adalah memanfaatkan kolaborasi saintifik untuk memperkuat hubungan bilateral dan menyelesaikan masalah global seperti climate change atau kelaparan.

Dampak yang Kita Harapkan

Dari kolaborasi ini, setidaknya ada tiga produk nyata yang bisa kita hasilkan:

  1. Publikasi Bonafide: Membantu universitas di Indonesia mendapatkan pengakuan internasional.
  2. Jalur Pendanaan Baru: Membentuk skema pendanaan riset untuk isu-isu strategis Indonesia.
  3. Edukasi Publik: Melibatkan media untuk menyampaikan relevansi riset kepada masyarakat umum, misalnya, mengapa riset tentang food waste, climate change penting untuk kehidupan sehari-hari.

Sebagai akademisi harus percaya bahwa perannya adalah menjadi jembatan antara sains, kebijakan, dan masyarakat. Akademisi harus membangun narasi yang kuat untuk menunjukkan bahwa riset adalah bagian dari solusi, bukan hanya untuk akademisi, tetapi juga untuk masyarakat luas.

Inspirasi dari Tiongkok

Kita bisa coba melihat Tiongkok. Negara ini dengan cepat menjadi pusat inovasi dunia karena mampu menjadikan riset sebagai bagian integral dari kebijakan publik. Saya melihat bagaimana akademisi, pembuat kebijakan, dan sektor swasta bekerja sama dalam satu ekosistem yang saling mendukung. Mereka tidak hanya berbicara tentang inovasi, mereka menciptakan dampaknya.

Indonesia bisa belajar banyak dari ini. Tetapi, langkah pertama adalah menciptakan budaya kolaborasi yang tidak hanya relevan untuk kalangan akademisi, tetapi juga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum.

Langkah untuk Mewujudkan Indonesia sebagai Kiblat Riset

  1. Membangun Ekosistem Riset: Fokus pada insentif yang mendorong riset berdampak. Publikasi tetap penting, tetapi dampak nyata harus menjadi prioritas.
  2. Meningkatkan Kolaborasi: Membentuk konsorsium riset lintas negara untuk isu-isu strategis seperti perubahan iklim dan ketahanan pangan.
  3. Mendorong Science Communication: Melatih akademisi untuk menjelaskan relevansi riset mereka kepada masyarakat, sehingga publik mendukung dan memahami urgensi sains.
  4. Memprioritaskan Investasi di STEM: Membuka lebih banyak peluang karier di STEM, khususnya bagi perempuan, agar Indonesia memiliki talenta yang kompetitif secara global.

Menuju Indonesia 2045

Untuk menjadi negara maju pada 2045, Indonesia membutuhkan transformasi besar dalam dunia pendidikan dan riset. Kita harus menciptakan lingkungan yang memungkinkan riset menjadi solusi nyata untuk masalah bangsa, dengan akademisi sebagai ujung tombaknya. Melalui riset yang relevan, kolaborasi yang kuat, dan komunikasi yang efektif, kita bisa menjadikan Indonesia pusat inovasi dan pengetahuan di dunia.

Dari tulisan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa, masih banyak sekali PR yang perlu kita selesaikan, seperti:

  1. Peran Interdisipliner: Researcher sebaiknya lebih banyak melakukan riset interdisipliner, karena ini akan memberikan dampak yang lebih besar pada masalah sosial dan kebijakan, seperti food waste dan pertanian di Indonesia. Kolaborasi antar disiplin ilmu akan meningkatkan relevansi penelitian terhadap kebutuhan masyarakat.

  2. Kolaborasi Internasional: Peneliti perlu menjalin kemitraan internasional, khususnya dengan diaspora akademik, untuk menarik pendanaan riset dan meningkatkan kapasitas riset yang relevan untuk Indonesia.

  3. Science Communication: Researcher perlu dilatih untuk melakukan komunikasi ilmiah yang efektif kepada publik dan pembuat kebijakan, agar hasil penelitian dapat diterjemahkan dan diaplikasikan dalam kebijakan publik yang berdampak.

  4. Meningkatkan Keterkaitan Riset dengan Masalah Sosial: Peneliti harus lebih menghubungkan riset mereka dengan masalah yang relevan dengan kehidupan masyarakat, seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan lainnya, agar penelitian dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

  5. Dampak Lebih dari Publikasi: Peneliti harus fokus pada dampak nyata dari penelitian, bukan hanya pada publikasi ilmiah. Ini bisa mencakup pembuatan kebijakan berbasis bukti dan perubahan sosial yang nyata.

  6. Peningkatan Infrastruktur dan Insentif untuk Riset: Infrastruktur riset dan sistem insentif yang mendukung penelitian interdisipliner perlu ditingkatkan di Indonesia. Hal ini termasuk memberikan fasilitas yang memadai dan dukungan yang lebih kuat bagi akademisi untuk melakukan riset yang berdampak langsung pada masyarakat.

  7. Pentingnya Konsorsium dan Kemitraan: Peneliti perlu membentuk konsorsium antara universitas dan lembaga riset, baik domestik maupun internasional, untuk memperluas jangkauan dan dampak riset. Ini juga dapat membuka jalur pendanaan baru dan meningkatkan kolaborasi internasional.

  8. Pendidikan dan Pembentukan Budaya Riset: Sistem pendidikan di Indonesia harus mengutamakan pengembangan pemikiran kritis, yang akan melahirkan individu yang tidak hanya ahli di bidangnya, tetapi juga mampu berkomunikasi dan memecahkan masalah sosial dengan riset.

  9. Relevansi dengan Kebijakan dan Industri: Peneliti perlu menjembatani kesenjangan antara dunia akademik dan kebijakan serta industri, sehingga riset dapat diterjemahkan ke dalam produk yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

  10. Mindset tentang Riset dan Pengembangan: Peneliti dan akademisi harus diberdayakan untuk berpikir lebih besar dan lebih ambisius, serta melihat peluang untuk berkontribusi pada pengembangan Indonesia sebagai kekuatan ilmiah global.

    Tapi, dari semua PR yang ada, fondasinya adalah dari pemangku kebijakan, yang memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan besar-besaran dalam sistem pendidikan kita, yaitu pemerintah. Pemerintah perlu berperan aktif dalam mendukung researcher untuk mencapai semua hal di atas. Pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang mendukung pendanaan riset, memberikan insentif bagi akademisi untuk melakukan riset yang berdampak langsung pada masyarakat, serta meningkatkan infrastruktur riset yang memadai. Dukungan pemerintah sangat penting agar riset-riset di Indonesia dapat lebih terintegrasi dengan kebijakan publik dan memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan bangsa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu: Wijaya

Dream Job

Momiji Kairou: Mapple Corridor