Ditunjuk! #1
Saya adalah salah satu mahasiswa yang
suka datang kuliah pada jam mepet. Hal ini dikarenakan anggapan saya mengenai ‘kan masih ada toleransi 15 menit’. Duh kalau
begini kapan Indonesia bisa maju ya? *lalu intropeksi diri*. Meskipun saya suka
datang mepet atau bahkan telat, saya selalu tidak tahu diri. Bukannya malu lalu
duduk di belakang, tapi kalau saya tetap duduk di depan. Di depan dosen. Begitulah
saya.
Saya adalah mahasiswa yang sering
ditunjuk dosen untuk sekedar maju mengerjakan soal, me-review tugas, menjawab
pertanyaan, atau presentasi. Saya tidak tahu kenapa saya sering sekali ditunjuk
dosen. Bahkan, saya menjadi objek favorit untuk ditunjuk sejak saya masih SD. Kadang
saya berpikir, apakah saya terlihat cukup mumpuni? *naon Widha?* Kalau benar begitu,
izinkan saya mengklarifikasinya. Saya ini adalah gadis dengan otak pas-pasan. Ah
tidak, sebenarnya otak manusia sama saja, hanya saja saya sering malas untuk
berpikir, dan akibatnya ya seperti ini. Pemikiran saya divergen dan tidak
sistematis. Saya sangat random dan saya juga kadang bingung sama kelakuan saya
ini.
Gini ya, saya ceritain, momen ditunjuk
saya yang paling berkesan waktu saya SD adalah saat saya kelas 3 SD, pada hari
jumat, pelajaran matematika, gurunya bernama pak Sarwanto. Seperti biasa, saya
duduk di paling depan dan mungkin pak Guru melihat saya sebagai anak yang yaa bisa diandalkan lah wkwkwk.
Saya ditunjuk untuk mengerjakan soal matematika yang pada saat itu sedang
membahas pembagian bersusun. Ingat kan? Itu adalah metode andalan saat masih
SD. Saya yang sejak awal pelajaran dimulai sebenarnya tidak paham dengan
percaya diri maju ke depan lalu sok-sok
an mengerjakan. Begitu membuat susunannya, saya mulai panik, karena saya baru
sadar kalau saya tidak paham apapun. Oh Allah,
help me! Saya pun hanya diam menatap papan tulis yang sedang sedih melihat
kondisi saya. Kemudian, 5 menit, 10 menit, saya tak kunjung selesai. Akhirnya pak
Guru bertanya kepada saya, apakah saya bisa atau tidak? Saya bilang tidak. Pak Guru
pun menjelaskan ulang kembali, dan lagi-lagi saya tak paham. Tapi saya
berpura-pura paham, supaya tidak kelihatan seperti orang oon. Saya kembali menatap papan tulis yang masih bersih. Saya
benar-benar tidak bisa. Saya pun kena marah. Pak Guru marah bukan karena saya
tidak bisa mengerjakan, tapi karena saya berpura-pura bisa. Disitu saya sangat
malu. Saya berjanji untuk bisa mengerjakan pembagian bersusun. Setelah pulang
sekolah, saya belajar keras mengenai materi tersebut. Dan, saat ada ulangan,
saya mendapatkan nilai terbaik. Saya ingat betul. Pak Guru memuji saya. Tapi gara-gara
itu juga saya tidak memiliki kepercayaan dari sebagian besar teman-teman saya. Mereka
pikir saya menyontek. Ah, klise. Masa kecil. Itu momen ditunjuk guru yang
paling mengesankan saat SD.
Mungkin saya terlalu imut, jadi guru-guru gemes liat saya *hueks*
Waktu SMP, beda lagi ceritanya. Lagi-lagi
berhubungan dengan matematika. Saya sering sekali memiliki urusan dengan
matematika. Saat itu hari rabu, pelajaran bu Julita, guru matematika yang
sangat cerdas dan sekaligus wali kelas saya saat itu. Sejak pagi, saya perasaan
saya sudah tidak enak, seperti ada sesuatu penting yang saya lupakan. Dan benar
saja, saya belum mengerjakan PR matematika. Dear self, why you have so many bad habit? Saya pun langsung mengatakan kepada bu
Julita kalau saya belum mengerjakan PR. Ekspresi bu Julita berubah drastis. Jujur,
dulu saya adalah salah satu siswa yang dekat dengan bu Julita, jadi biasanya bu
Julita sangat baik dan ramah kepada saya. Tapi kali ini, saya benar-benar
terkejut. Ya, ini salah saya. Kemudian saya disuruh berdiri di depan. Tidak lama
setelah saya ada beberapa siswa yang mengaku juga belum mengerjakan PR. Salah satu
diantara mereka adalah sahabat saya sejak saya masih di kandungan huks. Tidak lain
dan tidak bukan, dia adalah Ridwan. Dia adalah saudara saya, lebih tepatnya om saya. Kami seumuran, jadi kami sering
bermain bersama. Ridwan ini terkenal rajin, kok
jadi ngikut-ngikut saya? Entahlah. Bu Julita terlihat semakin marah, karena
ternyata banyak siswa yang belum mengerjakan PR. Kami pun di suruh berdiri di
depan lalu bu Julita melakukan interogasi terhadap kami. Setelah selesai, bu
Julita menawari siapa salah satu diantara kami yang mau dan bisa mengerjakan
soal yang akan diberikan soal oleh bu Julita, maka kami boleh duduk kembali. Kami
semua tidak ada yang mau menerima tawaran itu. Kami masih diam. Pada akhirnya,
sayalah yang ditunjuk bu Julita. Oh Allah.
Saya sudah takut kalau-kalau soalnya sulit, kemudian saya tidak bisa
mengerjakan, dan kami semua harus berdiri di depan sampai selesai pelajaran.
Dan ternyata, soalnya adalah soal
yang baru saja saya pelajari malamnya. Alhamdulillah.
Saya tidak terlalu apes hari ini. Saya
pun dengan percaya diri saya yang kadang tidak tau batasnya, mengerjakan soal
tersebut di papan tulis. Selesai. Kemudian bu Julita mengoreksi. And, finally saya bisa melihat senyuman
bu Julita lagi. Dan kami diperbolehkan duduk. Fiuuuuuh…
Itu baru SD dan SMP. Pun itu hanya
salah satu kasus ditunjuk oleh guru, sebenarnya saya masih banyak memiliki
kasus yang sama hiks. Ditambah lagi waktu saya SMA dan kuliah.
Komentar
Posting Komentar