Shaky Shaky Shaky


Semester ini saya rasa cukup cepat terlalui. Saya tidak tau apakah karena saya enjoy dalam menjalaninya atau bagaimana, yang jelas saya merasa waktu sangat bekerja keras dalam satu semester ini. Nah kemarin tanggal 19 Juni 2016 saya pulang ke kampung halaman saya dengan menggunakan kereta api, kebetulan saya mendapatkan tiket pukul 09.10 Waktu Daerah Tugu Yogyakarta(?). Dari kos, saya naik ojek langganan saya, pak Hendi(nama ini saya samarkan). Di jalan pak Hendi bercerita kalau sebenarnya hari minggu adalah hari khusus untuk keluarga dan pak Hendi meliburkan diri dari aktivitas apapun. Tapi karena kata pak Hendi saya adalah pelanggannya sejak semester satu maka saya tetap dilayani. Demi menjaga loyalitas pelanggan, kata beliau. Saya mau cerita sedikit tentang pak Hendi ini. Pak Hendi adalah tukang ojek pertama yang saya gunakan jasanya sejak saya pertama kali menjadi mahasiswa. Pak Hendi ini orang yang asyik, selalu mengajak ngobrol para pelanggannya. Kata beliau sekedar mengajak pelanggannya ngobrol adalah kebahagiaan tersendiri. Dari obrolan tersebut tidak jarang akan banyak pelajaran hidup yang beliau dapatkan. Tapi tidak semua pelanggan ojeknya menyukai ‘ajakan ngobrol’ beliau, ada juga pelanggan yang tidak suka diajak ngobrol beliau. Menurut pengalaman beliau, tidak jarang pelanggan yang diajak ngobrol beliau tapi jawabannya agak ketus, nah kalau sudah seperti itu, biasanya beliau berhenti untuk melanjutkan komunikasi antara beliau dan pelanggannya. Saya gagal paham ya sama orang seperti ini(re : yang tidak suka diajak ngobrol). Saya penasaran apa alasan mereka tidak mau, padahal kan mengobrol sepanjang perjalanan itu mengasyikkan dan menambah kadar ke-sok kenal-an serta kadar pencitraan pada diri kita kan(?), apalagi dengan orang yang berbeda profesi dengan kita. Hitung-hitung untuk menambah pengalaman.

Saat sampai di stasiun, tibalah waktunya saat untuk berpisah dengan beliau. Rasanya campur aduk kaya seblak *naon*, saya sedih soalnya saya mau berpisah dengan tukang ojek yang rela meluangkan waktunya untuk pelanggan macam saya yang tarifnya tidak lebih dari Rp15000,00, saya senang karena saya mau pulang kampung. Ya begitulah kira-kira perasaan saya waktu itu. Kami berpisah bagaikan bapak dan anak yang ada di ftv, beliau berpesan supaya hati-hati di jalan, jangan lupa tas selalu dijaga, persis seperti kalimat bapak saya saat saya pertama kalinya mau pergi merantau. Saat saya memasuki stasiun, seperti dugaan saya sebelumnya, stasiun dipenuhi dengan keluarga kecil yang akan menghabiskan liburan mereka di Solo. Sebelumnya saya sudah menduga kalau di jam-jam segitu pasti banyak pengguna kereta yang membawa balita mereka karena saat itu tepat hari minggu.
Saya adalah orang yang tidak suka main gadget saat di keramaian. Saya lebih suka membaca buku *pencitraan* atau melakukan analisis sosial *pencitraan jilid 2*. Kebetulan saat itu yang saya bawa adalah buku yang sangat tebal, sehingga saya malas untuk mengeluarkannya. Lalu saya putuskan untuk melakukan plan B saja, yaitu melakukan analisis sosial. Saya mengamati gerak-gerik orang-orang yang ada di sekitar saya. Ada beberapa obrolan yang saya tangkap,
Ibu1 : “nak, udah atuh makannya, nanti lagi, kan yang lain sedang puasa..”
Anak1 : “tapi aku laper ibu..aku mau rumput lautnya lagi..”
Anak tersebut memiliki perawakan yang besar, kulitnya putih, matanya belo, dan dia sedikit hiperaktif. Kira-kira umurnya sekitar 4-5 taun. Ada obrolan lain disebelah timur pohon mangga,
                Bapak1 : “Duduk sini sayang..”
                Anak2 : “Enggak mau. Pa, kok keretanya nggak ada sih? Kan kita mau naik kereta?”
                Bapak1 : “Kan belum datang..”
Saya melihat sedikit ada perdebatan yang tak bisa dipandang remeh, mereka berdua asyik memperdebatkan hal yang menurut saya tidak terlalu serius tapi tidak bisa dipandang remeh bagi mereka berdua. Hal tersebut adalah masalah kereta yang akan mereka tumpangi kenapa belum juga datang. Saya yang melihat saja rasanya pengin menelan cangkul atau apapun yang ada disana karena ke-abstrak-an obrolan mereka itu, tapi kok mereka tetap santai ya menyikapi perdebatan yang sudah mereka buat tersebut. Huks. Saya gemas. Mungkin disini saya yang lebay. Oke lanjut, Di sebelah tong sampah ada obrolan yang menarik kalo kata saya,
                Anak3 : “Kak, emang kalau puasa, setan pada dipenjarakan ya sama Allah?”
                Kakak1 : “Iya…”
                Anak3 : “Tapi kok aku masih suka pengin batalin puasa ya kak kalau uda jam 11 siang?”
                Kakak1: “Ya terus kenapa?”
Anak3 : “Kan yang suka godain manusia itu setan kan kak? Katanya setannya lagi dipenjara? Gimana sih kakak?”
Kakak1 : “Terserah dek, tanya mama sana..”
Anak3 : “Kakak juga lagi digoda setan kayanya, soalnya kakak bete sama aku..”
Kakak1 : “Iya, kamu setannya..”
Saya sedikit menahan tawa saat meliat percakapan antara kedua bocah itu. Tapi saya agak nyesek saat mendengar jawaban terakhir sang kakak, masa adiknya dikatain setan, kan emang benar. *Ya Allah ampuni dosa Widha*.
                Saya suka sekali melihat fenomena-fenomena sosial seperti itu. Benar kan, kita pasti akan lebih tau apa yang sedang terjadi di sekitar kita. Daripada kita hanya mendengarkan lagu lewat HP atau sekedar mainan HP yang padahal cuma geser-geser menu kesana-kemari *eh* dan yang jelas itu tidak bermanfaat, mending kita melihat fenomena-fenomena yang sering terjadi di masyarakat dan kita gunakan kacamata yang berbeda, kacamata kuda misalnya. *alah*
                Selain saya hanya diam mengamati fenomena-fenomena sosial di stasiun, saya juga kadang megajak ngobrol para ibu-ibu atau mba-mba atau bapak-bapak atau om-om atau siapapun itu yang duduknya disebelah saya. Tapi sejauh ini saya lebih sering mengajak ngobrol ibu-ibu yang sedang mengajak anak balitanya. Hal ini dikarenakan saya lebih sering duduk di sebelah ibu-ibu seperti itu. Mungkin wajah saya yang sangat innocent dan tidak mencurigakan ini mampu menarik perhatian mereka *sukageeremang*. Nah, kebetulan pas saya di stasiun kemarin, di sebelah saya adalah ibu-ibu dengan ketiga anaknya beserta suaminya yang sedang membaca koran. Anak pertamanya SMP kelas 8, anak keduanya kelas 4 SD, dan yang paling kecil masih berusia 3 tahun. Balita adalah magnet bagi saya. Mereka adalah orbit-orbit yang mampu menarik perhatian saya. *naon* entah kenapa saya selalu tertarik mengobrol dengan para balita, bagi saya itu adalah tantangan tersendiri untuk saya. Kenapa? Karena balita selalu ingin dimengerti kaya cewe-cewe ABG. Anak balita ibu itu namanya Amira. Saya berusaha menarik perhatiaannya dengan memanggil-manggil namanya seperti ini,
                “Amira, sini dek ikut kakak, kakak punya permen..”
                “Amira, kakak punya permainan bagus di HP kakak, sini main sama kakak…”
                “Amira foto yuk sama kakak..”
Dengan berbagai cara saya tidak berasil meluluhkan ati Amira. Huks. Yang ada adalah Amira memandangi saya aneh, mungkin dia berpikir kalau saya ini alien atau monster yang akan mengganggu hidupnya dan keluarganya, atau mungkin dia berpikir kalau saya ini bidadari sehingga dia enggan dekat-dekat dengan saya takut kalah manis *hueks*. Saya pun lelah dan memutuskan untuk diam dan merenung saja *alah* hingga saya mendengar tangis Amira. Amira menangis. Ibunya berusaha menenangkan Amira dan papanya masih kekeuh melanjutkan bacaan korannya yang konon didalam Koran terdapat berita-berita terbaru dari penjuru dunia. Papanya masih asyik membolak-balikkan lembaran-lembaran Koran tersebut. Sesekali beliau megibaskan korannya yang sampai saat ini saya tidak tau apa tujuannya megibaskan Koran. Saya perhatikan hampir semua pembaca Koran melakukan hal tersebut. Oke lanjut, saya yang merasa kasihan akhirnya membantu menenangkan Amira. Saya keluarkan jurus kamehameha dan jurus seribu banyangan yang saya miliki (?). Saya mashi percaya diri dengan kalimat andalan saya untuk bisa menarik perhatian Amira,
“Amira, kakak punya permainan bagus di HP kakak, sini main sama kakak, yuk anak cantik nggak boleh nangis..”
Saya sebenarnya tidak tahu-menahu apa korelasi antara cantik dan tidak boleh menangis. Huks. Tapi saya yakin kalimat tersebut sering digunakan oleh ibu-ibu di seluruh dunia saat menenangkan anak perempuan mereka yang sedang menangis. Saya hampir menyerah karena Amira masi saja menangis, barang satu-satunya yang belum saya gunakan untuk merayu Amira adalah buku yang saya bawa. Masa saya harus bilang,
                “Amira, kakak punya buku bagus loh, Amira mau baca?”
Saya rasa ini tidak tepat. Setelah beberapa menit saya berpikir, bohlam 100 watt di kepala saya akhirnya menyala. Aha. Saya punya ide. Saya spontan langsung merealisasikan ide saya ini. Saya kemudian berdiri di depan Amira dan memasang pose kuda-kuda *naon*. Dalam hitungan detik, saya langsung bergoyang sambil bernyanyi,
                “Shaky shaky shaky shaky shaky yuuuuhuuuuu….”
Saya menirukan sebuah iklan minuman kemasan yang saat ini sedang hits. Di dalam iklan tersebut yang melakukan hal yang baru saja saya lakukan tersebut adalah sekumpulan lebah yang imut nan lucu, tidak seperti saya yang cantik bak bidadari *hueks*. Ya Allah saya tidak paham dengan apa yang saya lakukan. Huks. Sungguh saya tidak mengerti jalannya otak saya. Kok saya mau ya merealisasikan ide aneh bin ajaib yang sudah dipikirkan oleh otak saya ini dan akhirnya meruntuhkan pondasi pencitraan saya selama ini. Huks. Tapi saya bersyukur, Amira pun diam. Dia memandangi saya dengan takjub *sayaemangsukageer*. Kemudian keluarlah celetukan Amira,
                “Kakak, aku mau liat lagi.. mau…”
Ya Allah emang saya banyak fans ya, anak kecil aja ngefans sama saya. Saya pun beberapa kali mengulanginya sampai Amira tertawa terbahak-bahak. Dan Amira pun mau saya pangku lalu kami ngobrol-ngobrol tidak jelas sampai kereta kami datang. *kapankamujelaswid?* Tapi sayangnya tempat duduk kami berbeda, jadi saya harus berpisah dengan Amira. Huks. Semoga nanti kalau sudah besar Amira sempat membaca tulisan kakak ya.

Pesan : tolong setiap tindakan anda pikirkan dalam-dalam, karena bisa saja akan menjatuhkan pencitraan yang selama bertahun-tahun telah anda bangun.
Salam manis, Widha yellow(?).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu: Wijaya

Dream Job

Momiji Kairou: Mapple Corridor