Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2024

Rindu: Wijaya

Ritual pulang kampung saat idul fitri salah satunya adalah berkunjung ke tempat pengasuhku dulu. Lebih tepatnya pengasuhku dan adikku. Tapi rasanya aku sedikit tidak sreg dengan kata "pengasuh", karena aku merasa mereka lebih dari itu. Seperti kakek nenekku, bahkan lebih dari itu. Dulu, saat aku dan adikku kecil, bapak dan ibu full time pekerja di perusahaan. Dari aku bayi sampai adikku lahir, bahkan sampai kami sudah resmi lulus dari mereka, kami tetap selalu main ke tempat mereka. Menginap saat libur, makan bersama, ramadan bersama, bahkan kami dekat sekali dengan keluarga kakek nenek tersebut (untuk selanjutnya mari kita sebut Pak Manto dan Mbok Ti). Aku dan adikku tumbuh dan beranjak dewasa diwarnai dengan kehadiran Pak Manto dan Mbok Ti. Rasanya cukup. Tidak perlu apa pun. Barangkali itu yang membuat aku setiap kali berkunjung ke rumah mereka selalu menangis sesudahnya. Ada rasa sayang yang teramat besar, bahkan tidak ada kata yang cukup untuk bisa menggambarkannya. Sang

Tumbuh

Dulu sekali, di suatu hari yang lampau, ketika aku mendengar kata "bertumbuh", aku teringat dengan praktikum ketika kelas 9 atau 10 ya, yang mana kita menumbuhkan (?) kecambah di atas kapas yang dikasih air. Tapi hari ini, aku mendefinisikan bertumbuh dengan sesuatu yang beda lagi, sakit lagi, tantangan baru lagi, dan tidak nyaman. Kita akan dihadapkan dengan keadaan yang tidak nyaman, yang mungkin membuat kita merasakan tubuh kita resistanced, malas bergerak, dan yaudah maunya diem. Padahal, saat kita merasakan itu, keadaan kita adalah keadaan paling bagus, kita juga ada di dalam kondisi paling powerful kalau mau fight . Kenapa? Karena berarti kita mau memulai sesuatu yang baru atau kita akan melakukan sesuatu yang tidak biasa kita lakukan, makanya rasanya tidak nyaman yet nice circumtances . Dari renungan itu, aku mencoba me- recall memories tentang apa-apa saja yang sudah aku lakukan atau bahkan masih dalam bentuk rencana. Aku (dan aku yakin kalian juga), bertumbuh denga