Rindu: Wijaya

Ritual pulang kampung saat idul fitri salah satunya adalah berkunjung ke tempat pengasuhku dulu. Lebih tepatnya pengasuhku dan adikku. Tapi rasanya aku sedikit tidak sreg dengan kata "pengasuh", karena aku merasa mereka lebih dari itu. Seperti kakek nenekku, bahkan lebih dari itu. Dulu, saat aku dan adikku kecil, bapak dan ibu full time pekerja di perusahaan. Dari aku bayi sampai adikku lahir, bahkan sampai kami sudah resmi lulus dari mereka, kami tetap selalu main ke tempat mereka. Menginap saat libur, makan bersama, ramadan bersama, bahkan kami dekat sekali dengan keluarga kakek nenek tersebut (untuk selanjutnya mari kita sebut Pak Manto dan Mbok Ti).

Aku dan adikku tumbuh dan beranjak dewasa diwarnai dengan kehadiran Pak Manto dan Mbok Ti. Rasanya cukup. Tidak perlu apa pun. Barangkali itu yang membuat aku setiap kali berkunjung ke rumah mereka selalu menangis sesudahnya. Ada rasa sayang yang teramat besar, bahkan tidak ada kata yang cukup untuk bisa menggambarkannya. Sangat besar, hingga aku sulit terlepas dari gravitasinya.

Mbok Ti meninggal tahun 2016. Aku ingat sekali, pada saat itu aku sedang di luar kota, begitu aku menerima kabar bahwa Mbok Ti meninggal dunia. Rasanya duniaku berhenti berputar. Aku bahkan tidak bisa menangis. Aku diam. Lalu menyiapkan tas dan perlengkapannya kemudian aku ke stasiun untuk ke rumah Mbok Ti. Di kereta, aku menangis sejadi-jadinya. Tak terbendung, berusaha menerima bahwa memang begitulah hidup, kelak pasti ada waktunya aku akan kembali. Long story short, pada tahun 2021, Pak Manto yang dipanggil. Pak Manto meninggal dunia. Pada saat itu, yang aku pahami, jantungku tidak berada pada tempatnya. Seperti tahun 2016, aku rasanya tidak menapak tanah. Aku kehilangan orang yang menyayangi dengan sepenuh hati. Pak Manto telah pulang, meninggalkan banyak kenangan indah dan sisa-sisa kasih sayangnya yang insyaallah tidak akan pernah aku lupakan.

Sebenarnya, sebelum Pak Manto dan Mbok Ti pergi, ada rasa kehilangan yang tidak kalah menyakitkan. Waktu kakekku meninggal, pergi meninggalkan semua untuk selama-lamanya. Lain kali aku ceritakan ya. Kali ini biarkan aku menceritakan Pak Manto dan Mbok Ti. Masa kecilku hingga remaja, aku habiskan banyak bersama Pak Manto dan Mbok Ti. Bukan berarti kemudian aku tidak pernah pulang ke rumahku sendiri, tapi aku benar-benar merasa disayangi dengan Pak Manto dan Mbok Ti. Itu juga yang baru aku sadari beberapa waktu terakhir, ternyata sepertinya adikku tidak sama seperti aku. Dia juga menyayangi Pak Manto dan Mbok Ti, tapi aku rasa, rasa sayang kami kadarnya berbeda. Aku benar-benar merasa aman dan amat dicintai oleh Pak Manto dan Mbok Ti.

Aku adalah anak dari tiga bersaudara, aku anak kedua, jadi aku punya kakak dan adik. Dari kecil aku dekat dengan bapak, dekat sekali. Aku merasa menjadi anak favorit dari bapak. Apa pun akan bapak lakukan untuk aku, meskipun sebenarnya bapak juga begitu ke abang dan adikku. Dulu ketika aku kecil, aku mengira bapaklah satu-satunya yang sayang kepadaku di rumah kami, ibu, abang, dan adik tidak sayang kepadaku. Tapi kemudian ada satu dan lain hal yang membuat aku dekat dengan abang. Tapi jika boleh membandingkan, aku kepada bapak rasanya lebih. Dari kecil, aku mengalami banyak hal yang orang-orang bilang "sindrom/sewajarnya anak tengah". Harus ngalah kepada abang dan adik. Aku harus berusaha sendiri. Apa-apa sendiri. Sampai tebentuklah aku yang berani kesana kemari, melakukan apa pun sendiri. Berbeda dengan abang dan adikku yang sangat anak ibu. Tapi aku tidak menyalahkan keadaan, alhamdulillah aku tumbuh menjadi anak yang mengerti, memahami, dan mau melihat lebih dekat. Aku juga tidak tumbuh menjadi anak yang fatherless atau perlu mengemis cinta kepada orang lain, karena aku merasa cukup. Cukup dengan kasih sayang yang diberi oleh bapak, ibu, abang, adik, dan orang-orang di sekitarku.

Hingga saat kakek, lalu Mbok Ti pergi. Rasanya aku tidak ingin melanjutkan hidup. Aku kehilangan separuh jiwaku. Di situ aku menyadari, peran kakekku, Mbok Ti, dan Pak Manto sangat besar. Meskipun bapak begitu menyayangiku, tapi dari Pak Manto dan Mbok Ti aku juga mendapatkan kasih sayang sebesar alam semesta (dari kakek juga, aku dekat dengan kakek, karena kakek suka bercerita, kakekku adalah seseorang yang pintar dan pandai bercerita). Aku tumbuh menjadi anak normal yang bisa merasa bahagia dan cukup dengan diriku sendiri, berkat mereka juga. Kasih sayang mereka sangat tulus, aku bisa merasakannya. Rasanya aku yang sering menyianyiakan waktu saat mereka berdua masih ada. Aku terlalu fokus pada diriku sendiri.

Hari ini, sepulang aku dari rumah Pak Manto dan Mbok Ti (rumahnya masih ada anak dan cucunya, yang aku panggil pakde dan mas), saat aku mengambil wudu untuk sholat maghrib, aku menangis sejadi-jadinya. Saat sholat apa lagi. Ternyata aku sangat menyayangi mereka berdua dan keluarganya (anak, almh menantu, dan cucunya). Aku menyayangi semua. Yang menyayangi aku dengan sepenuh hati, dulu dan sekarang. Aku pernah takut lupa wajah Pak Manto dan Mbok Ti, sampai-sampai aku berusaha mencari foto mereka dan kemudian aku simpan di ponselku. Aku tidak ingin lupa. Aku ingin mengingat mereka di hatiku, di doaku, di setiap sholatku, di ponselku, semuanya. Meskipun terlambat, aku ingin bilang kalau aku sayang sekali sama Pak Manto dan Mbokti dan keluarganya. Aku menyayangi kalian semua.

Jika saja bisa mengulur waktu, tentu aku menjadi salah satu orang yang mau mengulur waktu. Jika saja waktu bisa bertahan lebih lama, atau setidaknya sampai rumput depan rumahmu tinggi dan bermekaran, tunggu sampai rumput bisa berbunga.

Aku kira semudah itu melupakan, tapi ternyata tidak. Begitu aku menginjakkan kakiku di rumah itu, semua memori kemudian berceceran satu per satu. Masih sama. Ada tiga pohon mangga, satu pohon mahoni, satu pohon belimbing wuluh, dan satu pohon dadap serep. Ada tiga tiang yang masih dipenuhi stiker-stiker yang aku dan adikku tempelkan dulu, setiap kali kami memberli jajan yang ada hadiah stikernya. Stikernya masih lengkap, hanya ada beberapa bagian yang mengelupas, tapi masih bersisa sebagiannya.

Pagar rumputnya masih hijau, indah sekali. Di sudut halaman ada bunga melati, yang ketika mekar harumnya menyeruak ke seluruh penjuru halaman. Langit di depan rumah masih gelap dan saya yakin ketika dini hari bintang-bintang bertaburan. Pada ruang-ruang rumahnya, masih terdengar gelak tawa adikku, aku, Mbok Ti, Pak Manto, Pakde, Bude, Mas Nur, Hakim, Mba Ika dan semua yang terlibat pada saat itu. Ada teriakan ketika Pak Manto menggendongku sambil berlari. Ada tangisanku ketika aku jatuh dari pohon kersen. Ada pelukan Mbok Ti dan semuanya.

Jika saja bisa mengulur waktu, maka bisa kupastikan akan aku habiskan waktuku bersama mereka. Andai saja waktu tidak mengambil semuanya. Andai saja Pak Manto, Mbok Ti, dan keluarganya tidak sebaik itu kepadaku dan adikku, aku pasti move on-nya lebih mudah.

Jika saja bisa meminta kepada Tuhan, aku masih mau bersama kalian semua, setidaknya 10.000 tahun lagi. Al-fatihah untuk Pak Manto, Mbok Ti, dan menantunya. Alangkah rapuhnya Tia ditinggal kalian, padahal Tia tau ruh-ruh tetap hidup, tak pernah pergi. Alangkah egoisnya Tia, bagaimana mungkin Tia masih memikirkan sedih yang Tia rasakan? Sementara Tia yakin Pak Manto dan Mbok Ti sudah bahagia di sana.

Terima kasih ya Mbok, Pak. Meskipun kita tidak pernah ada ikatan darah (bahkan bapak dan ibu mungkin tidak pernah merencanakan kita bisa sedekat ini), tapi rasanya cukup. Terima kasih sudah melindungi dan menyayangi Tia dengan amat sempurna, dulu, sekarang, dan insyaallah selamanya. Selamat menerima banyak hadiah dari Allah.

Al- Fatihah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#siriustalk

De Lente (Episode 2)