Influenza A
Di malam menjelang Senin ini, entah kenapa saya merasa perlu untuk mengabadikan kejadian seminggu ke belakang. Rasanya terlalu “besar” untuk disimpan sendiri (atau ya memang oversharing aja, pararunten akang teteh). Jadi izinkan saya berbagi cerita yang genre-nya cenderung konyol ini, tapi ya begitulah hidup.
Tahap 1
Jumat malam, 14 November 2025, sepulang kantor, badan saya mulai terasa aneh. Ngilu sakit (gimana ya, sakit), tenggorokan mulai pedih, dan demam perlahan mulai terasa. Tapi di kepala saya cuma ada satu hal:
“Besok saya sudah janji pergi. Jadi tidur saja. Pasti besok baik-baik saja.”
Naif sekali ya, kalau dipikir sekarang HAHAHA.
Tahap 2
Sabtu, 15 November 2025. Saya masih sempat belanja sayur, buah, protein, seolah tubuh saya baik-baik saja. Bahkan masih olahraga satu jam. Rasanya seperti masih ingin membuktikan bahwa saya kuat. Bahwa tubuh saya patuh dengan segala hal yang sudah saya tetapkan.
Padahal, tubuh saya sedang memberi warning, tapi saya yang tidak mau peka. Betapa sombongnya saya ini. Astaghfirullah.
Selesai olahraga, saya lanjut pergi, kemudian sore harinya, saat saya melanjutkan untuk datang ke halaqah masjid, semuanya berubah. Kepala berat, tubuh menggigil, dan ada rasa “tidak benar” yang sulit dijelaskan. Saya memutuskan pulang sebelum acara selesai.
Perjalanan pulang adalah salah satu perjalanan terpanjang dalam hidup saya. Saya menggigil, badan terasa seperti dihantam dari dalam. Setiap langkah seperti memikul beban yang tak terlihat dan sangat berat (well, hidup memang berat ya yeorobun, tapi ini beratnya berat sekali).
Sampai rumah, saya bersih-bersih, sholat Isya, minum paracetamol, berharap semuanya membaik. Tapi tidak. Saya cek suhu tubuh saya: 38.3°C. Dan saat itu, untuk pertama kalinya: saya takut. HAHAHA, saya hampir tidak pernah demam sampai lebih dari 38°C, kecuali pada beberapa kejadian.
Tahap 3
Minggu, 16 November 2025. Setelah Subuh, demam saya makin tinggi. Kepala saya bukan hanya sakit, tapi seperti dihantam gelombang panas yang kasar dan brutal. Saat sujud, rasanya dunia runtuh di kepala saya.
Saya harus akui bahwa, ini sakit paling tidak manusiawi yang pernah saya rasakan. Bahkan dibanding covid (walau hanya sekali di akhir pandemi) dulu, ini jauh, jauh lebih buruk. Worse. Mehhh.
Lalu sampai di tahap, saya merasa saat itu saya sudah tidak kuat menahan sakitnya. Saya menghubungi Olin (teman kerja saya) yang kebetulan juga lebih dulu sakit (Olin sakit dari Kamis). Kami memutuskan ke rumah sakit bersama. Ada sedikit humor pahit di situ, karena kami baru sadar mungkin kami “bertukar virus” sewaktu makan bareng dan icip-icip makanan. Cake sepotong berdua? Transfer virus part 2. Kocak tapi tragis. LOL.
Kami datang ke IGD dengan tubuh yang sudah hampir menyerah. Suhu saya naik jadi 38.6°C. Badan lemas, kepala berdenyut, pandangan kabur. Dokter Rheza memeriksa saya, lalu meminta cek darah, swab, dan memasang infus. Detailnya kabur, karena kondisi saya sudah memprihatinkan.
Beberapa waktu kemudian, hasil swab keluar: Positive Influenza A.
Eng ing eng, saya terdiam. Saya bahkan baru tahu influenza punya tipe. Dan ternyata, tipe ini bukan main-main. Hasil lab lain alhamdulillah normal. Tidak tipes. Tidak yang aneh-aneh. Tapi tetap saja: saya resmi jadi “pasien Influenza A.”
Tahap 4
Saya kira infus dan obat akan membuat saya cepat pulih. Saya bahkan sempat berpikir bisa bekerja Senin. What? Setelah saya pikir-pikir, itu adalah hal terbodoh yang pernah terpikir di benak saya (say it louder, yeah).
Demam makin panas. Tubuh saya seperti dipanggang dari dalam, saya seperti sedang di-oven. Cahaya lampu membuat kepala terasa mau pecah. Nafas saya pendek, terburu-buru, seperti ada dinding di dada (rill seperti itu). Setiap sendi seperti ditembaki rasa sakit. Selama tiga malam, saya hanya bisa menangis, merintih, memohon. Saya ingat kalimat yang terus saya ulang:
“Ya Allah… ampuni dosa-dosaku. Jadikan sakit ini penggugur dosa-dosaku…”
Di titik itu, saya tidak hanya sakit. Saya takut. Ada momen saya berpikir:
“Apakah ini sakaratul maut?”
Dan pikiran itu terasa terlalu dekat.
Well, belakangan saya baru ingat, sistem imun bekerja lebih keras di malam hari. Itulah kenapa “perangnya” terasa ganas saat mulai gelap. Well, yeah.
Tahap 5
Hari Rabu, 19 November, setelah Maghrib, sakitnya makin menjadi. Saya menangis. Tidak lagi pelan, tapi seperti yang... putus asa. Saya mengulang-ulang doa saya, saya mohon ampunan kepada Allah. Setelah Isya, saya berdoa lagi. Tapi kali ini saya tambahkan dengan:
“Ya Malaikat… bersaksilah bahwa aku menyembah Allah, Tuhan Seluruh Alam. Tolong… beritahu Allah bahwa aku sangat kesakitan. Mohonkanlah ampun untukku Ya Malaikat, aku sangat kesakitan…”
Saya terus menerus merintih, sampai saya tertidur. Dalam tidur itu, saya seperti melihat tubuh saya sedang berperang, sungguh-sungguh perang (?). Apakah itu final war? Entahlah. Saya tidak ingat gambarnya, tapi saya ingat rasanya. Sampai sekitar jam 10 atau jam 11 malam, saya terbangun. Saat itu, tiba-tiba demam mereda, kepala terasa lebih ringan, dan tubuh tidak lagi dihantam rasa sakit yang sama.
Saya berdiri perlahan. Masih lemah dan sempoyongan. Tapi saya bisa berdiri, huhuhu (Ya Allah, alhamdulillah). Saat itu saya menangis lega dan terharu. Karena doa saya didengar. Karena disayangi. Karena merasa Allah begitu baik. Dan karena saya sadar, saya ini sangat kecil. Sangat lemah. Tidak punya kuasa apa pun. Sedangkan Allah, Maha Kuasa, Maha Besar.
Sejak malam itu, kondisi saya kian stabil. Jumat, 21 November, saya masih lemah tapi jauh membaik. Sabtu saya bisa istirahat yang literally istirahat, tidak sakit, menikmati istirahat dengan khidmat. Minggu, saya merasa hampir kembali seperti sebelum sakit. Masih belum berani olahraga atau capek-capek. Tapi alhamdulillah, saya pulih. Alhamdulillah Ya Allah.
Well, seminggu ini mengajarkan banyak hal: bahwa sehat itu bukan hal sepele, bahwa tubuh punya batas, bahwa manusia rapuh dan mudah tumbang. Dan bahwa Allah, Maha Baik, bahkan ketika kita sedang terbaring lemah.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada tubuh saya, sudah berperang untuk saya (hug), dan Ya Allah, alhamdulillah, terima kasih Allah, sudah menyembuhkan. Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Seluruh Alam.
Dan epilognya, semoga, saya tidak pernah berjumpa Influenza A lagi. Semoga kita, senantiasa sehat dan bahagia, aamiin.
Komentar
Posting Komentar